Suara.com - Kelompok teror Al Qaida secara aktif mencoba mengeksploitasi kerusuhan di Amerika Serikat belakangan ini, dengan mendekati baik penganut agama Islam ataupun agama lain dengan merepresentasikan diri sebagai "pemimpin kaum yang tertindas."
Edisi terbaru majalah digital kelompok tersebut, yang bertajuk Satu Umat (One Ummah), memuat pesan dukungan Al Qaida atas demo di AS.
Mereka memanfaatkan foto ikonik momen-momen terakhir George Floyd dan sebuah gambar buatan seniman grafiti Banksy.
Edisi berbahasa Inggris tersebut, yang jelas ditujukan untuk audiens dalam negeri AS, memprediksi kejatuhan AS, sistem politik, ekonomi, dan masyarakatnya dalam waktu dekat.
Baca Juga: Mahasiswa Indonesia di Jerman: Lawan Rasisme dan Penindasan di Papua
"Protes bersenjata akan bermunculan di seluruh AS dan perang saudara tampaknya akan mulai," tulis sebuah kolom komentar.
Salah satu pesannya berkata, "Partai Demokrat tidak bisa membantumu tapi kami bisa."
Mina Al Lami dari BBC Monitoring mengatakan, ada perbedaan antara pendekatan Al Qaida dengan saingan utamanya, kelompok yang menyebut diri Negara Islam atau ISIS.
ISIS dengan lantang menyambut baik kerusuhan di AS dan memprediksi bahwa kisruh akan menyebar ke negara lain.
Sementara Al Qaida lebih halus dengan mendekati dan mencoba mengonversi orang AS untuk pindah agama Islam versinya dan mendukung program-programnya, kata Mina.
Baca Juga: Ngaku Lawan Rasisme, Starbucks Larang Karyawan Pakai Atribut BLM
Analis kami mengatakan artikel di majalah itu jelas ditulis oleh seseorang yang memiliki pengetahuan dalam soal apa yang terjadi di AS.
Al Qaida ingin kembali aktif
Al Qaida dalam beberapa tahun terakhir telah dilangkahi oleh ISIS.
Dr Shiraz Maher, Direktur Pusat Studi Radikalisasi Internasional di King's College London, yakin Al Qaida masih aktif mencoba menunjukkan bahwa kelompok itu masih relevan di panggung dunia.
"[Protes Black Lives Matter] adalah momen besar saat ini... yang efeknya menyebar di dunia dan menjangkau sampai ke ranah kultural dan artistik, di luar ranah media dan politik. Al-Qaida ingin masuk ke ranah tersebut dan mereka mencoba mengatakan, 'lihat, kami di sini'," kata Dr Maher.
Ada ironi mendalam bahwa kelompok yang memegang salah satu ideologi paling opresif dan mematikan di Timur Tengah sekarang ingin merepresentasikan dirinya, ke warga AS yang tengah marah, sebagai kelompok anti brutalitas polisi dan rasisme sistemis.
Al Qaida adalah pelaku serangan teroris terburuk dalam sejarah AS pada September 2001, di mana saat itu mereka dipimpin oleh almarhum Osama Bin Laden.
Al Qaeda menerapkan aturan yang brutal ketika ia menguasai propinsi Falluja di Irak: mereka yang ketahuan merokok akan dipotong jarinya.
Sejak saat itu, Al Qaida menginspirasi kelompok teror di banyak negara, termasuk IS.
Meski beberapa individu melancarkan serangan teror, seperti yang dilakukan oleh seorang warga Arab Saudi, yang terinspirasi Al Qaida di Pensacola, Florida, pada Desember 2019, baik Al Qaida maupun ISIS hingga kini gagal membangun dukungan yang signifikan di antara warga AS.
Ini berlawanan dengan Eropa, di mana terdapat beberapa kota yang menjadi sarang simpatisan kelompok itu sejak tahun 1990an.
Selama berbulan-bulan, kepala intelijen negara-negara Barat telah memperingatkan bahwa Al Qaida tidak menghilang. Mereka hanya menunggu peluang yang tepat.
Tahun ini, baik Al Qaida maupun ISIS menyambut dampak buruk Covid-19 di AS dan Inggris.
Mereka mengatakan ini karena aksi dua negara tersebut di Timur Tengah. Namun, jumlah kasus positif virus corona di Iran kini lebih dari 175.000, dan Mesir kini melaporkan kenaikan jumlah kasus positif Covid-19 sekitar 2.000 setiap harinya.
Tantangan bagi intelijen Barat
Kini, kelompok buronan tersebut mencoba mencari persamaan dengan pendemo di AS yang memprotes kebrutalan polisi dan diskriminasi ras, namun mereka menyarankan pendemo untuk melakukan kekerasan.
Tentunya intervensi Al Qaida ini, jika diketahui oleh pendemo, mungkin tidak akan disambut baik.
Al Qaida adalah organisasi teroris terlarang yang menewaskan hampir 3.000 warga AS pada 11 September 2001. Kelompok ini juga bertekad untuk terus menyerang warga AS.
Haruskah lembaga antiterorisme AS khawatir soal ini? Dr Shiraz Maher, yang telah meneliti al-Qaida dan ideologinya selama 20 tahun, yakin bahwa kelompok ini ingin mengeksploitasi peluang yang tersedia sekarang.
"Sifat propaganda ini adalah, mereka selalu mencoba melebarkan jaringnya. Mereka hanya butuh menarik satu orang untuk mengklaim 'kampanye kami sukses'," kata Dr Maher.
"Itu adalah kesulitan besar yang dihadapi oleh lembaga intel dan penegak hukum Barat ketika mereka mencoba memitigasi ancaman seperti ini."