Selama berbulan-bulan, kepala intelijen negara-negara Barat telah memperingatkan bahwa Al Qaida tidak menghilang. Mereka hanya menunggu peluang yang tepat.
Tahun ini, baik Al Qaida maupun ISIS menyambut dampak buruk Covid-19 di AS dan Inggris.
Mereka mengatakan ini karena aksi dua negara tersebut di Timur Tengah. Namun, jumlah kasus positif virus corona di Iran kini lebih dari 175.000, dan Mesir kini melaporkan kenaikan jumlah kasus positif Covid-19 sekitar 2.000 setiap harinya.
Tantangan bagi intelijen Barat
Baca Juga: Mahasiswa Indonesia di Jerman: Lawan Rasisme dan Penindasan di Papua
Kini, kelompok buronan tersebut mencoba mencari persamaan dengan pendemo di AS yang memprotes kebrutalan polisi dan diskriminasi ras, namun mereka menyarankan pendemo untuk melakukan kekerasan.
Tentunya intervensi Al Qaida ini, jika diketahui oleh pendemo, mungkin tidak akan disambut baik.
Al Qaida adalah organisasi teroris terlarang yang menewaskan hampir 3.000 warga AS pada 11 September 2001. Kelompok ini juga bertekad untuk terus menyerang warga AS.
Haruskah lembaga antiterorisme AS khawatir soal ini? Dr Shiraz Maher, yang telah meneliti al-Qaida dan ideologinya selama 20 tahun, yakin bahwa kelompok ini ingin mengeksploitasi peluang yang tersedia sekarang.
"Sifat propaganda ini adalah, mereka selalu mencoba melebarkan jaringnya. Mereka hanya butuh menarik satu orang untuk mengklaim 'kampanye kami sukses'," kata Dr Maher.
Baca Juga: Ngaku Lawan Rasisme, Starbucks Larang Karyawan Pakai Atribut BLM
"Itu adalah kesulitan besar yang dihadapi oleh lembaga intel dan penegak hukum Barat ketika mereka mencoba memitigasi ancaman seperti ini."