Ini Kejanggalan Tim Advokasi Novel Soal Proses Hukum Penyiram Air Keras

Jum'at, 12 Juni 2020 | 00:05 WIB
Ini Kejanggalan Tim Advokasi Novel Soal Proses Hukum Penyiram Air Keras
Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan (tengah) bersiap memberikan kesaksian dalam sidang kasus penyiraman air keras terhadapnya di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (30/4). [Suara.com/Angga Budhiyanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dua terdakwa penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, hanya dituntut hukuman satu tahun penjara oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Rendahnya tuntutan tersebut membuat Tim Advokasi Novel Baswedan menjadi geram.

Salah satu anggota tim advokasi, Andi Muhammad Rezaldy, menilai keputusan dua terdakwa yakni Ronny Bugis dan Rahmat Kadir hanya dituntut satu tahun masa hukuman penjara menjadi sesuatu hal yang memalukan. Ia menganggap sistem peradilan bagi pelaku penyiraman air keras terhadap Novel malah tidak berpihak kepada korban.

"Alih-alih dapat mengungkapkan fakta sebenarnya, justru penuntutan tidak bisa lepas dari kepentingan elit mafia korupsi dan kekerasan," kata Andi dalam keterangan tertulisnya yang diterima Suara.com, Kamis (11/6/2020).

Sudah sedari awal, Tim Advokasi Novel Baswedan menemukan banyak kejanggalan yang muncul selama persidangan berjalan. Misalnya, dakwaan Jaksa dinilai seakan berupaya untuk menafikan fakta kejadian yang sesungguhnya.

Baca Juga: Hari Ini Sidang Tuntutan 2 Terdakwa Penyiraman Air Keras Novel Baswedan

Sebab, Jaksa hanya mendakwa terdakwa dengan Pasal 351 dan Pasal 355 KUHP terkait dengan penganiayaan. Padahal menurutnya, kejadian yang menimpa Novel itu dapat berpotensi menimbulkan hal buruk bahkan hingga meninggal dunia.

Oleh karena itu, Tim Advokasi Novel Baswedan menilai seharusnya Jaksa itu mendakwa dengan menggunakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.

Terdakwa kasus penyiraman air keras terhadap peyidik senior KPK Novel Baswedan, Ronny Bugis (kiri) dan Rahmat Kadir Mahulette (kanan) mengikuti sidang tuntutan secara virtual di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (11/6). [Suara.com/Angga Budhiyanto]
Terdakwa kasus penyiraman air keras terhadap peyidik senior KPK Novel Baswedan, Ronny Bugis (kiri) dan Rahmat Kadir Mahulette (kanan) mengikuti sidang tuntutan secara virtual di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (11/6). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

Saksi diabaikan

Menurut pantauan Tim Advokasi Novel Baswedan, terdapat tiga saksi yang seharusnya dihadirkan dalam persidangan untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya. Tiga saksi itu disebutkan sudah pernah diperiksa oleh penyidik Polri, Komnas HAM, serta Tim Pencari Fakta bentukan Kepolisian.

"Namun, Jaksa seakan hanya menganggap kesaksian mereka tidak memiliki nilai penting dalam perkara ini," ucapnya.

Baca Juga: Diduga Korupsi Proyek Jalan, Kantor BBPJN II Medan Digeledah Polisi

Padahal menurutnya esensi hukum pidana itu adalah untuk menggali kebenaran materiil, sehingga langkah Jaksa justru terlihat ingin menutupi fakta kejadian sebenarnya.

Kemudian tuntutan tersebut sudah menjadi penampakan penuntut umum yang lebih membela terdakwa. Bukan hanya itu saja, dalam persidangan Jaksa tampak memberikan pertanyaan-pertanyaan yang malah menyudutkan KPK.

"Semestinya Jaksa sebagai representasi negara dan juga korban dapat melihat kejadian ini lebih utuh, bukan justru mebuat perkara ini semakin keruh dan bisa berdampak sangat bahaya bagi petugas-petugas yang berupaya mengungkap korupsi ke depan," ujarnya.

Tim Advokasi Novel Baswedan juga menganggap persidangan kasus juga menunjukkan hukum yang digunakan bukan untuk keadilan, tetapi untuk melindungi pelaku dengan memberikan hukuman alakadarnya. Bagaimana persidangan itu memperlihatkan adanya niatan menutup keterlibatan aktor intelektual, mengabaikan fakta perencanaan pembunuhan dan memberi bantuan hukum dari Polri kepada terdakwa.

Padahal dalam aturan sudah dijelaskan menurut Pasal 13 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 yang berbunyi bahwa pendampingan hukum baru dapat dilakukan bilamana tindakan yang dituduhkan berkaitan dengan kepentingan tugas.

Tim Advokasi Novel kecewa melihat persidangan hingga tuntutan yang diberikan kepada terdakwa. Oleh karena itu ada sejumlah tuntutan yang dilontarkan Tim Advokasi Novel Baswedan, yakni:

  1. Majelis Hakim tidak larut dalam sandiwara hukum ini dan harus melihat fakta sebenarnya yang menimpa Novel Baswedan
  2. Presiden Joko Widodo untuk membuka tabir sandiwara hukum ini dengan membentuk Tim Pencari Fakta Independen
  3. Komisi Kejaksaan mesti menindaklanjuti temuan ini dengan memeriksa Jaksa Penuntut Umum dalam perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI