Suara.com - Sebuah hotel melati yang terletak di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat menjadi lokasi wara-wiri seorang wanita pekerja seks komersial (PSK) bernama Jingga (nama samaran)untuk melayani para pelanggannya.
Pandemi Corona (Covid-19) yang sudah berbulan-bulan melanda Ibu Kota hingga banyak ratusan jiwa melayang, tak menyurutkan hati wanita berusia 43 tahun itu untuk mengais rezeki di dunia prostitusi.
Tempat pukul 21.00 WIB di hari Selasa (9/6/2020), jurnalis Suara.com pun mencoba mengajak Jingga bertemu dengan menyewa di kamar bernomor 205. Kamar itu berada di lantai hotel. Ruangan kamar tersebut tidak terlalu besar, cuma kasur springbed berukuran sedang dengan AC yang tidak terlalu dingin. Kamar ini tanpa televisi.
Sebelum itu, sempat terjadi tawar-menawar hingga akhirnya negosiasi kami bertemu di angka Rp 350 ribu untuk dua kali permainan. Uang ratusan itu di luar biaya sewa kamar hotel Rp 100 ribu untuk transit selama dua jam.
Baca Juga: Polisi Peneror Air Keras Dituntut 1 Tahun, Kubu Novel: Peradilan Sandiwara!
Lima menit berselang, Jingga mengirim pesan singkat. Dia mengaku sudah berada di depan kamar.
"Mas tolong buka pintunya, saya baru sampai."
Hampir tiga tahun Jingga tinggal di Ibu Kota. Dia menyewa rumah kontrakan di kawasan Karet, Jakarta Pusat bersama kakaknya. Perempuan 43 tahun ini datang dari Ngawi, Jawa Timur ke Jakarta untuk mengadu nasib.
Dia mencari peruntungan sebagai PSK di sekitar kawasan Tanah Abang. Memilih jalan sunyi di bisnis lendir adalah pilihan terakhir yang bisa dia lakoni.
Dalam praktiknya, Jingga bukanlah PSK yang biasa mangkal di pinggir jalan. Baginya, dunia luar seperti jalan raya merupakan kengerian yang tak bisa ditakar. Dia memilih untuk menghindari kejahatan jalanan seperti copet atau bahkan cibiran orang-orang sekitar.
Baca Juga: 2 Polisi Penyiram Air Keras Dituntut 1 Tahun Bui, Novel Baswedan Murka!
Dia memilih aplikasi Michat untuk menjajakan jasa esek-eseknya ke pria hidung belang. Meski juga rentar terpapar tindak kejahatan, Jingga tetap nyaman bertransaksi melalui Michat.
Kasus kejahatan melalui aplikasi Michat bukan barang baru di Jakarta.
Jingga sudah tidak lagi muda. Usianya sudah menginjak kepala empat. Dia sudah menyandang status ibu-ibu karena anaknya sudah dua. Dia bahkan sudah berstatus janda seusai diceraikan oleh suaminya beberapa tahun lalu.
Kepada setiap tamu yang ingin bermain seks, Jingga selalu memberi sedikit ciri-ciri tentang dirinya. Tubuh yang gemuk karena pil KB, kulit yang tidak lagi kencang, hingga usianya yang tidak lagi muda.
Jingga juga biasa meminta pelanggannya untuk membayar uang secara tunai. Alasannya sepele, dia tidak punya kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Biasanya, setelah kegiatan seks berakhir, Jingga baru memegang uang.
Dia biasa membuka harga di angka Rp500 ribu untuk dua kali permainan. Namun, angka tersebut masih bisa ditawar sepanjang hal itu masuk akal bagi Jingga.
"Mas boleh nego. Jujur saja, asal tidak terlalu parah negonya," kata Jingga saat berbincang dengan Suara.com.
Pelanggan jasa seks berbayar beragam. Mereka bisa datang dari usia muda hingga tua. Sopan dan brengsek. Di aplikasi Michat, kenyataan-kenyataan seperti itu bisa dijumpai. Sebagai orang yang terlanjur basah di dunia itu, Jingga sudah mengerti betul ciri-ciri pelanggan yang hendak memakai jasanya.
Jingga bercerita, kebanyakan pelanggannya adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Kelas yang ingin merasakan kenikmatan seks dengan kocek yang tidak terlalu mahal.
Jingga pun mengaku pernah mendapat seorang tamu berusia 18 tahun. Rasanya seperti berhadapan dengan anak sendiri, kata Jingga.
Jingga juga sering berhadapan dengan calon pelanggan brengsek. Mereka biasanya menawar harga dengan nominal yang murah atau hanya modus belaka. Banyak calon pelanggan yang sudah membikin janji dengan Jingga untuk bermain seks namun hilang tanpa kabar.
Terkait hal tersebut, Jingga punya kiat sukses untuk menangkal calon pelanggan brengsek yang cuma memberi harapan palsu. Jingga punya peraturan yang harus dipenuhi oleh para calon pelanggannya.
Setelah proses negosiasi di Michat menemukan kata 'iya', Jingga meminta sang pelanggan untuk datang ke hotel kelas melati di kawasan Tanah Abang. Sang pelanggan diminta untuk menyewa kamar terlebih dahulu --tentunya biaya sewa kamar ditanggung oleh sang pelanggan. Setelah memesan kamar, sang pelanggan diminta untuk mengirimkan foto kunci kamar sebagai tanda kalau sudah memesan kamar.
Jingga juga punya cara lain untuk memastikan kalau pelanggannya sudah memesan kamar. Dia biasa menelepon pegawai hotel untuk memastikannya. Misalnya, sang pelanggan mengaku sudah berada di kamar nomor 205, lantai dua. Jingga meminta data kepada pegawai hotel apakah ada orang yang memesan kamar tersebut dengan ciri-ciri yang sudah disebutkan.
"Saya telepon pegawai sini, "Mas di lobi ada orang nunggu gak" saya tanya gitu. Ciri-ciri juga sudah kasih tahu. 'Oh gak ada', kalau jawaban pegawai gak ada orang nunggu, berarti orang yang ingin menggunakan jasa saya itu bohong. Kalau memang ada yang sudah nunggu, saya baru jalan dari kontrakan," ujar Jingga.
Saat kami sedang asyik berbincang, ada pesan singkat Michat yang mampir di ponsel Jingga. Rupanya ada calon pelanggan yang hendak bermain seks dengan dia. Sang calon pelanggan memaparkan kepada Jingga kalau dia memakai kaos berwarna merah dan sudah berada di lobby hotel. Guna memastikannya, Jingga langsung menghubungi petugas hotel yang berada di meja resepsionis, dekat lobi hotel.
"Nih saya kasih lihat chat-nya, dia katanya pakai baju merah dan lagi di parkiran. coba kita telepon resepsionis hotel ya" kata dia. Telepon berdering.
Jingga: Mas, di lobby hotel ada orang pakai kaos warna merah nggak?
Petugas: Kalau di lobby nggak ada.
Jingga: Kalau di parkiran?
Petugas: Kalau diparkiran ada orang lagi ngobrol sama security.
Jingga: Kaos merah?
Petugas: Bukan, ini orang yang sering nongkrong di sini.
Jingga: Oh ya sudah. Bohong berarti. Terima kasih ya, Mas.
Jingga juga sudah bisa mengetahui ciri-ciri pelanggan yang cuma modus. Dia bisa mengetahui mana saja calon pelanggan yang cuma ingin menipu dirinya. Biasanya, hal itu terlihat dari proses negosiasi harga lewat chatting, Michat.
Jika ada pelanggan yang minta hal aneh-aneh, Jingga langsung memblokir akun tersebut. Permintaan aneh itu misalnya minta foto bugil atau foto payudara sebagai bukti kalau Jingga benar-benar perempuan. Selain itu, jika sang calon pelanggan yang memulai percakapan dengan kata yang tidak sopan, Jingga tidak akan melayaninya.
"Saya sudah tahu kalau ada orang yang mau modus, saya langsung blokir. Pertama, pasti ada yang minta foto aneh-aneh kaya pap tete, foto bugil lah, itu sudah pasti nggak bener. Terus sudah kelihatan juga dari gaya bahasa ketika chatingan, kalau sudah nggak sopan, berarti bohong," ujar Jingga.
Sepuluh menit berselang, ada satu pelanggan yang mengirim pesan singkat pada Jingga. Katanya, dia sudah berada di hotel tempat kami berbincang. Pria ini mengaku sudah berada di kamar nomor 593. Namun kenyataannya, hotel ini cuma sampai lantai empat. Otomatis, nomor kamar tidak ada yang diawali dari angka lima.
"Ini barusan ada yang chat lagi, katanya sudah di kamar 593, ngaco kan. wong hotel ini cuma 4 lantai. Itupun lantai 4 hanya dipakai sama pegawai hotel, ini sudah ngaco kan," ucap dia.
Jingga juga punya cerita lucu tentang calon pelanggan brengsek yang hendak berbohong. Singkat cerita, Jingga baru selesai bermain seks dengan pelanggan lainnya. Saat itu, Jingga dan sang pelanggan bermain seks di kamar nomor 304. Tepatnya di lantai tiga.
Sang pelanggan memesan kamar transit berdurasi lima jam dengan tarif Rp150 ribu. Setelah dua kali bermain, sang pelanggan pulang terlebih dahulu. Sementara, Jingga masih berada di kamar, menunggu sisa waktu pemakaian kamar habis.
Saat sedang beres-beres, ada pesan singkat yang kembali nyangkut di ponsel Jingga. Ada satu pria yang mengaku sudah memesan kamar di hotel kelas melati tersebut. Sang pelanggan mengaku sudah memesan kamar nomor 304, tempat Jingga berada. Saat itu Jingga juga tidak menyadari kalau dia sedang berada di kamar itu. Seperti biasa, Jingga menelepon petugas hotel untuk memastikan kebenarannya.
"Aku telpon pegawai hotel, 'mas, kamar 304 ada yang baru masuk?' kata si pegawai, 'enggak kan udah dari tadi, tamu mbak yang tadi'. Nah aku baru sadar, ternyata pelanggan yang baru kontak aku ini ternyata cuma modus," katanya.
"Banyangin coba kalau aku masih di kontrakan, terus datang ke hotel tapi pelanggannya gak ada. Gimana coba? Kan kasian kan orang-orang kaya kami," tutup Jingga.