Suara.com - Komisi IX DPR RI meminta aparat turun tangan untuk menindak tegas pelaku penyebar hoaks terhadap tenaga medis. Sebab, apabila dibiarkan akan berdampak terhadap menurunnya kepercayaan masyarakat kepada tenaga medis dan fasilitas kesehatan dalam menangani Covid-19.
Anggota Komisi IX Kurniasih Mufidayati menyebutkan ketidakpercayaan masyarakat sudah mulai terlihat dari adanya pasien dalam pengawasan (PDP) atau pasien positif Covid-19 yang menolak untuk dirawat. Selain itu penolakan juga terjadi oleh masyarakat yang enggan mengikuti rapid test.
"Beberapa kejadian pengambilan paksa jenazah dengan status PDP atau bahkan positif Covid-19 untuk dimakamkan tanpa protokol Covid-19 sangat mungkin juga disebabkan oleh penyebaran informasi yang tidak benar dan menjurus fitnah. Padahal penolakan pasien untuk dirawat atau penolakan pemulasaran jenazah dengan standar Covid-19 akan sangat berbahaya dan memperburuk upaya pengendalian penyebaran Covid-19," kata Mufida kepada wartawan, Rabu (10/6/2020).
Adapun hoaks terhadap tenaga medis tersebut beragam. Bahkan kekinian hoaks terdebut bersifat tuduhan atau fitnah. Seperti yang menyebut bahwa tenaga medis atau rumah sakit mengambil keuntungan besar dalam menangani pasien Covid-19.
Baca Juga: Ambyar, Tenaga Medis dan Pasien di RS Covid-19 Bantul Goyang Cendol Dawet
Mufida berujar, hoaks tidak hanya menurunkan kepercayaan masyarakat kepada tenaga medis. Hoaks tersebut juga dapat meruntuhkan mental tenaga medis yang sejauh ini sudah berjuang dalam melawan Covid-19.
"Para tenaga medis ini menjadi pejuang utama dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan mengesampingkan kepentingan pribadi dan keluarga. Bahkan tidak jarang dari mereka yang harus berpisah dari keluarga untuk menjalankan tugas dalam menangani pasien dengan risiko tinggi tertular Covid-19. Penyebaran informasi yang cenderung tidak benar ini bisa meruntuhkan mental para tenaga medis dalam menangani psien Covid-19," kata Mufida.
Sebelumnya, muncul masalah baru dengan banyaknya tudingan yang mengarah ke dokter dan tenaga kesehatan. Stigma negatif dialamatkan kepada mereka menyusul beberapa kasus yang mengakibatkan terjadinya protes dan keributan dalam penetapan status pasien. Baik itu PDP atau positif Covid-19.
Beragam komentar pun muncul, ada yang membenarkan, ada yang menyalahkan bahkan ada pula yang menuduh ini konspirasi dokter agar mendapatkan untung besar dalam penanganan kasus Corona .
Atas isu miring ini, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Makassar sebagai organisasi profesi dokter akhirnya angkat bicara.
Baca Juga: Krisis Keuangan Akibat Corona, 157 Tenaga Medis RS di Makassar Dirumahkan
Melalui keterangan tertulis yang diterima dari Dr Wachyudi Muchsin SH selaku Humas IDI Kota Makassar mengklarifikasi semua tudingan itu adalah fitnah .
Menurut dokter Yudi, hal ini akan menjadi persoalan yang baru. Munculnya stigma bahwa Rumah Sakit dan Tenaga Medis menjadikan kasus-kasus seperti itu sebagai pemanfaatan anggaran bahwa setiap yang dicap sebagai pasien Covid-19 maka rumah sakit akan mendapat keuntungan besar untuk setiap pasien Covid-19 dari pemerintah pusat.
“Itu semua tidak benar dan fitnah. Pertanyaannya negara dapat uang dari mana ratusan juta dikalikan semua pasien Covid-19 se-Indonesia,” tanya dr Yudi.
Ia meminta masyarakat jangan mudah terprovokasi fitnah bahwa ada untung besar dokter serta paramedis sepeti video keluarga pasien corona meninggal yang viral mengatakan dana sangat besar dari Kementerian Keuangan setiap pasien Covid-19 yang diterima oleh rumah sakit.
Ia menambahkan kita semua tentu tidak ada yang menghendaki di posisi itu. Selain duka yang dalam dirasakan, juga kesedihan akibat tak bisa memakamkan keluarga secara syariat Agama, serta beban stigma dari sebagian “masyarakat yang masih latah” memahami kejadian seperti ini adalah aib . Padahal ini bukanlah aib, melainkan musibah kita bersama.
Untuk kasus yang meninggal dalam status PDP dan belum ada hasil Swabnya, memang menimbulkan dilematis bagi tenaga medis dan kegundahan bagi keluarga korban.
“Seperti yang kita ketahui, bahwa PDP (Pasien Dalam Pengawasan) adalah status resiko, bukan suatu diagnosis,” imbuh dokter Yudi.