Politik Biaya Mahal, Fadli Zon: Ujungnya Demokrasi RI Disponsori Cukong

Selasa, 09 Juni 2020 | 16:16 WIB
Politik Biaya Mahal, Fadli Zon: Ujungnya Demokrasi RI Disponsori Cukong
Anggota DPR RI Fadli Zon. (Suara.com/Tyo)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon menyatakan persoalan demokrasi di Indonesia saat ini bukan hanya terkait prosedural. Lebih dari itu, kata dia, yakni mengenai corrupted democracy yang membuat demokrasi Indonesia mahal dan sangat mahal.

Hal itu disampaikan Fadli dalam diskusi bersama Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju saat menanggapi rencana DPR merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Ia mengatakan demokrasi yang mahal itu tercermin dari biaya politik seseorang yang ingin meraih jabatan publik di dalam Pemilu. Di mana untuk mengikuti proses pencalonan mulai dari presiden, anggota DPR atau DPRD serta kepala daerah membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Akibatnya, ia menilai hanya segelintir orang yang mempunyai kemampuan untuk mengikuti proses meraih jabatan publik itu. Bahkan menurutnya ada orang-orang disokong cukong kemudian ikut mencalonkan diri.

Baca Juga: Diduga Cemarkan Nama Baik Anggota DPR, Ajudan Bupati Agam Diperiksa Polisi

Sehingga ujung dari dukungan cukong terhadap para calon yang berhasil lolos justru membuat mereka mudah dikendalikan.

"Ini menadi battle of billioner, menjadi pertarungan orang punya uang, orang-orang kaya mempunyai modal atau orang-orang yang punya cukong. Sehingga akhirnya demokrasi kita menjadi demokrasi yang dikendalikan oleh cukong. Sebetulnya kalau mau jujur bicara, baik itu tuk pilpres maupun lain-lain, sangat sedikit case yang tak terkait dengan itu," tutur Fadli Zon, Selasa (9/6/2020).

Selain itu, keterlibatan cukong dalam proses pemilihan membuat rentan terjadinya oligarki di lingkar kekuasaan para pejabat itu sendiri.

"Kalau demokrasi kita ini demorkasi yang disponsori para cukuong apa yang bisa diharapkan? Akhirnya adalah terjadi sebuah oligarki, mereka yang punya kepentingan di Indonesia cukup memegang 9 parpol. Pegang saja 9 orang plus beberapa. Jadi tidak ada namanya rakyat itu, rakyat itu hanya jadi angka-angka saja," tutur Fadli.

Untuk menghindari hal tersebut terjadi, Fadli mengatakan harus ada ubahan total terkait dengan bagaimana partisipasi rakyat yang diterjemahkan secara subtantif dan perlu keterwakilan. Menurutnya, prosedur terkait sistem demokrasi tidak melulu mengenai persoalan klasik semisal sistem pemilu tertutup atau terbuka hingga ambang batas parlemen dan pencalonan presiden.

Baca Juga: Krisdayanti Ribut dengan Anak di Medsos, MKD DPR: Jaga Kehormatan Lembaga

"Daulat rakyat itu ada dalam praktik demokrasi kita. Kita tidak melihat ini sedang terjadi dan akan terjadi. Lebih banyak pembicaraannya terkait dengan sistem-sistem tadi disebut saudara tadi klasik karena itu diulang-ulang pemilu nasional, pemilu lokal dan sebagainya," ujar Fadli.

Sebelumnya, Fadli Zon mengingatkan agar jangan ada kepentingan jangka pendek terhadap rencana DPR melalui Komisi II untuk membajas revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Sebab, menurut dia, pembahasan RUU Pemilu yang seharusnya dilakukan dalam jangka panjang, justru yang kini terjadi dilakukan dalam jangka pendek mengikuti siklus lima tahunan pemungutan suara.

"Ada sangat baik sekali bahwa RUU Pemilu dibahas di awal, sisi lain ada ironi karena sistem kita dibahas lima tahun sekali. Jadi undang-undang ini idealnya punya jangka waktu panjang bukan hanya lima tahun dengan situasi tertentu dan kepentingan tertentu atau power block dan power struggle tertentu siklus lima tahunan," ujar Fadli.

Ia memandang undang-undang tentang Pemilu harus bersifat jangka panjang untuk 10 sampai 20 tahun mendatang. Bukan bersifat jangka pendek yang akhirnya terkesan ada kepentingan partai politik.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI