Mengapa nekad berwisata?
Pengamat sosial dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Elly Malihah, dapat memahami kejenuhan atau kebosanan masyarakat jika terkurung dalam jangka waktu tertentu.
"Jadi wajar. Manusia kan betul-betul tidak bisa dikurung. Di samping karena dia makhluk individu, sekaligus makhluk sosial yang ingin dihargai atau menghargai orang lain atau ingin mengaktualisasikan dirinya," kata Elly saat dihubungi melalui telepon, Minggu (07/06).
Elly sendiri melihat warga, khususnya Kota Bandung, mulai banyak yang keluar rumah. Jalanan di Kota Bandung juga kembali ramai. Elly mengungkapkannya dengan istilah Sunda "siga kuda lepas di gedogan" (seperti kuda yang lepas dari kandangnya).
Baca Juga: Best 5 Oto: Ussy dan Truk Kontainer, Anang Coba Tesla, Pemotor PCX Menampar
Ada banyak faktor, menurut Elly, yang memicu kondisi itu terjadi. Pertama, sosialisasi tentang bahaya virus corona yang tidak mengena. Kedua, warga kesulitan melampiaskan kejenuhannya dengan cara yang aman di masa pandemi ini.
Untuk faktor pertama, Elly menjelaskan, ada kesenjangan bahasa antara pemerintah dan masyarakat awam.
"Kenyataannya di masyarakat kita ini sosialisasi dari kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya tersosialisasikan dengan baik. Ada sedikit kebingungan dengan beberapa istilah yang disampaikan pemerintah, seperti new normal dan PSBB. Bahasa rakyat dengan bahasa pemerintah berbeda," kata perempuan bergelar profesor ini.
Tak sedikit masyarakat, lanjut Elly, yang menganggap new normal itu kembali ke kondisi normal sebelum pandemi.
Padahal, istilah itu berarti, masyarakat bisa beraktivitas seperti biasa tapi dengan protokol kesehatan yang ketat. Masyarakat juga harus paham virus corona masih menjadi ancaman.
Baca Juga: Status Normal Baru Disebut Jadi Peluang Industri Otomotif
Faktor kedua, Elly menuturkan, masyarakat cenderung kesulitan melampiaskan kejenuhannya dengan cara yang lebih aman lantaran minimnya fasilitas publik, seperti taman bermain dan sarana olahraga, di sekitar tempat tinggal mereka.