Ibadah Haji 2020 Batal, Komnas Haji Minta Transparansi Pengelolaan Dana

Kamis, 04 Juni 2020 | 17:50 WIB
Ibadah Haji 2020 Batal, Komnas Haji Minta Transparansi Pengelolaan Dana
Jemaah calon haji asal Bangkalan mengikuti kegiatan pendalaman manasik haji di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (18/7).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Keputusan Menteri Agama RI membatalkan pengiriman jemaah haji tahun 2020 atau 1441 H baru-baru ini menjadi sorotan publik. Batalnya pengiriman jemaah haji tahun ini mengakibatkan banyak uang calon jemaah haji yang telah disetorkan akhirnya terparkir.

Pun kemudian, transparansi pengelolaan dana haji kembali dipertanyakan sejumlah pihak.

Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj mempertanyakan, pengelolaan dana dari 4,2 juta calon jemaah haji yang menunggu giliran berangkat karena hingga saat ini sudah terkumpul sekitar Rp 135 triliun. Begitu pula dengan Dana Abadi Ummat (DAU) sebesar Rp 3,5 triliun yang merupakan hasil efesiensi penyelenggaraan ibadah haji.

"Publik mempertanyakan transparansi pengelolaan dana calon haji oleh BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji)," kata Mustolih dalam siaran pers pada Kamis (4/6/2020).

Baca Juga: Cerita Perjuangan Suharto, Tukang Parkir yang Gagal Naik Haji Tahun Ini

Dia menuturkan, sejak terbitnya UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (UUPKH), dana haji bukan lagi domain kewenangan Kementerian Agama (Kemenag) tetapi menjadi tanggungjawab BPKH. Lembaga ini berada langsung di bawah presiden yang bertugas menerima, mengelola dan menginvestasikan dana calon jemaah haji.

Agar bermanfaat dan tidak menganggur, BPKH diberi kewenangan atas dana titipan atau wadiah tersebut untuk diinvestasikan ke berbagai macam skema investasi berbasis syariah agar jemaah haji yang masuk dalam daftar tunggu mendapatkan nilai tambah dan imbal hasil yang dikembalikan untuk jemaah.

Dana haji diatur sangat ketat, hanya diinvestasikan pada skema investasi syariah dan harus aman dari potensi kerugian. Karenanya, tidak boleh digunakan untuk kepentingan sembarangan, termasuk untuk menalangi penguatan rupiah.

Apabila dana calon jemaah haji digunakan untuk kepentingan yang bertentangan dengan UUPKH, seluruh pimpinan BPKH harus bertanggungjawab secara tanggung-renteng.

"Calon jemaah pun bisa mengajukan tuntutan hukum apabila ditemukan kerugian," ujarnya.

Baca Juga: Kisah Penantian Tukang Sayur yang Gagal Naik Haji Tahun Ini

Karena itu, memperlakukan dana calon jemaah haji tidak bisa disamakan dengan mengelola uang negara seperti APBN atau PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang bisa diotak-atik untuk berbagai kepentingan. Karenanya BPKH harus ekstra hati-hati.

Menurutnya, sejak dibentuk 2017 silam sampai sekarang, BPKH sebagai pengelola dana dianggap tidak transparan. Kinerjanya pun sampai sekarang belum maksimal sebagaimana ekspektasi dan harapan publik yang menginginkan bisa mengelola dana haji sebagaimana tabung haji di Malaysia yang memberikan manfaat dan dampak sangat baik bagi jemaah.

"Belum ada terobosan berarti BPKH, terutama terkait kebijakan investasi dari dana haji yang dapat memperoleh hasil secara signifikan dan memuaskan," tuturnya.

Soal transparansi, satu-satunya akses informasi terkait kinerja BPKH dan dana haji hanya bisa didapat melalui saluran laman website : https://bpkh.go.id/. Namun di dalam website tersebut mayoritas hanya berisi kegiatan internal dan seremonial pimpinan BPKH.

Mustolih menambahkan, ada laporan tahun 2018 tentang keuangan haji, tetapi sudah dimodifikasi sedemikian rupa, bukan menampilkan hasil audit asli dari BPK. Padahal ada kewajiban BPKH menampilkan ke media secara luas.

Transparansi seharusnya menjadi pilar utama BPKH karena dalam UUPKH lembaga ini disebut sebagai Badan Hukum Publik, terlebih seluruh operasional termasuk gaji pegawai dan pimpinan BPKH diambil dari keuantungan hasil investasi uang jemaah.

Sehingga konsekuensinya, BPKH harus transparan kepada publik, misalnya capaian dan audit kinerja, rencana kerja dan anggaran (RKA). Kemudian berapa jumlah jemaah yang mendaftar haji setiap bulan, dengan pihak mana saja bekerjasama, kemana uang jemaah diinvestasikan, bagaimana sistem investasinya, berapa banyak imbal hasil setiap tahun atau bulan yang diperoleh.

Lalu berapa banyak manfaat investasi yang dijadikan ‘subsidi’ untuk penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya, berapa anggaran yang tersedot untuk kepentingan operasional dan gaji pimpinan dan karyawan BPKH, dan kemana saja investasi di luar negeri ditempatkan. Bagaimana implikasi pembatalan pemberangakatan haji tahun 2020 terhadap keuangan haji di BPKH.

Semua informasi tersebut adalah informasi yang berhak diakses oleh publik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, karena BPKH berkedudukan sebagai badan hukum publik.

"Sampai saat ini BPKH belum memiliki struktur PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) yang secara khusus dan rutin bertugas menerima dan menyampaikan data dan informasi kepada publik," terangnya.

Tak Ada Transparansi

Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga mengungkapkan, karena minimnya transparansi, publik bertanya-tanya kemana dan bagaimana sesungguhnya dana calon jemaah haji digunakan, dikelola dan diinvestasikan. Terlebih perusahan investasi di sektor keuangan di berbagai negara tengah waswas menyalakan alarm kewaspadaan tingkat tinggi karena dibayang-bayangi krisis keuangan akibat pandemi Covid-19.

BPKH harus menjelaskan kepada publik bagaimana posisi dana jutaan calon jemaah haji yang diinvestasikan di berbagai jenis investasi baik yang di simpan di bank maupun non bank, dalam maupun di luar negeri. Apakah dana itu benar-benar aman dan kuat dalam menghadapi krisis Covid-19, tentu harus didukung dengan data-data yang solid dan meyakinkan.

"Sebagai catatan, yang tidak banyak diketahui publik adalah, hasil investasi dana haji ternyata sebagian besar digunakan untuk mensubsidi penyelengaraan haji yang digelar setiap tahunnya," kata dia.

Biaya haji jemaah Indonesia sesungguhnya Rp 70 juta per orang, tetapi yang dibayar oleh jemaah pada tahun berjalan sampai pelunasan yang berangkat ke tanah suci hanya setengahnya, yakni dikisaran Rp 35 juta per orang. Dengan kata lain, jemaah haji tunggu ternyata mensubsidi biaya jemaah haji yang berangkat.

Menurutnya model subsidi semacam itu berpotensi melanggar aturan syariah dan menimbulkan ketidakadilan, sebab syarat berangkat haji adalah bagi yang mampu, bukan yang disubsidi.

"Jadi narasi biaya haji jemaah Indonesia sebagai termurah di antara negara-negara lain sebenarnya tidak tepat. Ternyata murah karena ada subsidi," tuturnya.

Oleh karena itu, ia menyarankan BPKH untuk menata lembaganya agar transparan dan profesional dalam pengelolaan dana haji.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI