Suara.com - Vonis bersalah karena melanggar hukum terhadap Presiden bersama Menteri Komunikasi dan Informatika dalam kasus pemblokiran internet di Papua tahun lalu yang dijatuhkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Rabu (3/6/2020), dianggap sebagai kemenangan yang langka.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid mengatakan, putusan ini merupakan sinyal baik dari lembaga yudikatif Indonesia, meski belum mewakili keadilan dan penegakan hak asasi manusia di Papua secara keseluruhan.
“Putusan ini adalah kemenangan yang langka bagi masyarakat Papua dan sekaligus menegaskan bahwa selama ini mereka tidak diperlakukan setara oleh pihak bewenang di Indonesia," kata Usman dalam keterangannya, Kamis (4/6/2020).
Usman menyebut pemerintah harusnya menghormati vonis hakim dengan menyatakan diri bersalah telah melanggar hukum karena menutup akses informasi saat aksi massa di beberapa titik di Papua dan Papua Barat pertengahan 2019 lalu, buntut dari perlakuan rasisme kepada mahasiswa Papua di Surabaya.
Baca Juga: Presiden Diputus Bersalah Blokir Internet di Papua, Pemerintah Menghormati
"Menyusul putusan ini, Pemerintah Indonesia, termasuk Presiden dan Menteri, harus meminta maaf ke masyarakat Papua yang telah terdampak oleh pemblokiran itu dan memastikan agar kejadian ini tidak akan terulang kembali," ucap Usman.
Lebih lanjut, Amnesty juga mendesak pemerintah untuk membuka ruang ekspresi dan diskusi bagi warga Papua agar suaranya didengar bukan diintimidasi dan dibungkam.
"Segera memenuhi hak-hak mereka, termasuk hak untuk kebebasan berekspresi secara damai yang selama ini dibungkam karena mereka menuntut penentuan nasib sendiri," tegasnya.
Sebelumnya, PTUN Jakarta menyatakan tindakan pemerintah melakukan pemutusan akses internet di Provinsi Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September lalu merupakan perbuatan melawan hukum.
"Menyatakan bahwa tergugat 1 (Menkominfo) dan tergugat 2 (Presiden RI) terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dalam tindakan melakukan internet shutdown di Papua dan Papua Barat pada 2019," kata Ketua Majelis Hakim PTUN Jakarta, Hakim Ketua Nelvy Christin saat membacakan amar putusan di persidangan, Rabu (3/6/2020).
Baca Juga: Plate: Blokir Internet Papua Mungkin Karena Pengrusakan Infrastruktur
Majelis Hakim menyebutkan, bahwa eksepsi tergugat 1 dan tergugat 2 dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika dan Presiden Joko Widodo tidak diterima dalam pokok perkara. Kemudian mengabulkan gugatan para penggugat, yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara/SAFENet.
Hakim menyebutkan sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah, di antaranya; Pertama, tindakan pemerintah yang melakukan perlambatan akses bandwith internet di beberapa wilayah provinsi Papua dan Papua Barat pada 19 Agustus 2019 pada pukul 13.00 WIT sampai 20.30 WIT.
Kedua, tindakan pemerintah melakukan pemblokiran internet secara menyeluruh di Provinsi Papua dan Papua Barat dari 19 Agustus 4 September 2019. Ketiga, tindakan pemerintah yang memperpanjang pemblokiran internet di empat Kabupaten di wilayah Papua yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya dan dua Kabupaten di wilayah Papua Barat yakni Kota Manokwari dan Kota Sorong pada 4 September pukul 23.00 WIT sampai 9 September 2019 pada pukul 20.00 WIT.
"Itu adalah perbuatan melanggar hukum oleh badan atau pejabat pemerintahan," tegasnya.
Selain itu, majelis hakim juga menghukum Menkominfo dan Presiden Jokowi untuk membayar biaya perkara secara tunai sebesar Rp 457 ribu.