Suara.com - Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengaku belum membaca amar putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menyatakan, tindakan pemerintah melakukan pemutusan akses internet di Provinsi Papua dan Papua Barat merupakan perbuatan melawan hukum.
Namun, Johnny mengemukakan, berdasar informasi yang didapatnya, amar putusan PTUN tersebut tidak sesuai dengan petitum penggugat
"Saya belum membaca amar putusannya. Tidak tepat jika Petitun penggugat dianggap sebagai amar putusan pengadilan TUN tersebut. Kami tentu hanya mengacu pada amar keputusan Pengadilan TUN, yang menurut informasi tidak sepenuhnya sesuai dengan petitum penggugat," ujar Johnny saat dikonfirmasi wartawan, Rabu (3/6/2020).
Meski begitu, Politisi Partai Nasdem itu menghargai keputusan PTUN. Namun, pihaknya mencadangkan hak hukum sebagai tergugat.
Baca Juga: Blokir Internet Papua, Hakim Nyatakan Presiden dan Menkominfo Langgar Hukum
"Kami akan berbicara dengan Jaksa Pengacara Negara untuk menentukan langkah hukum selanjutnya," ucap dia.
Lebih lanjut, Johnny menyebut sejauh ini dirinya belum menemukan adanya dokumen tentang keputusan yang dilakukan oleh pemerintah terkait pemblokiran atau pembatasan akses internet di wilayah tersebut.
"Dan juga tidak menemukan informasi adanya rapat-rapat di Kominfo terkait hal tersebut. Namun bisa saja terjadi adanya perusakan terhadap infrastrukur telekomunikasi yang berdampak ganguan internet di wilayah tersebut," ucap dia.
Tak hanya itu, Johnny mengatakan bahwa kebijakan yang diambil pemerintah termasuk pemblokiran internet di Papua untuk kepentingan rakyat Indonesia termasuk Rakyat Papua.
"Bapak Presiden Joko widodo dalam mengambil kebijakan tentu terutama untuk kepentingan Negara, Bangsa dan Rakyat Indonesia, termasuk didalamnya rakyat Papua. Syukur jika kebijakan tersebut dapat bermanfaat juga bagi bangsa lain, namun bukan untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok yang belum tentu sejalan dengan kepentingan Bangsa dan Negara kita," katanya.
Baca Juga: Kacau! Sidang Putusan Kasus Blokir Internet Papua Diserang Zoombombing
Lebih lanjut, Johnny berharap kebebasan berpendapat dan berekspresi melalui ruang siber dapat dilakukan dengan cara yang cerdas dan bertanggungjawab.
"Kami tentu sangat berharap bahwa selanjutnya kebebasan menyampaikan pendapat dan ekspresi demokrasi melalui ruang siber dapat dilakukan dengan cara yang cerdas, lebih bertanggung jawab dan digunakan untuk hal yang bermanfaat bagi bangsa kita," katanya.
Sebelumnya, PTUN Jakarta menyatakan tindakan pemerintah melakukan pemutusan akses internet di Provinsi Papua dan Papua Barat pada Agustus dan September lalu merupakan perbuatan melawan hukum.
"Menyatakan bahwa tergugat 1 (Menkominfo) dan tergugat 2 (Presiden RI) terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dalam tindakan melakukan internet shutdown di Papua dan Papua Barat pada 2019," kata Ketua Majelis Hakim PTUN Jakarta, Hakim Ketua Nelvy Christin saat membacakan amar putusan di persidangan, Rabu (3/6/2020).
Majelis Hakim menyebutkan, bahwa eksepsi tergugat 1 dan tergugat 2 dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika dan Presiden Joko Widodo tidak diterima dalam pokok perkara. Kemudian mengabulkan gugatan para penggugat, yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara/SAFENet.
Hakim menyebutkan sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah, di antaranya; Pertama, tindakan pemerintah yang melakukan perlambatan akses bandwith internet di beberapa wilayah provinsi Papua dan Papua Barat pada 19 Agustus 2019 pada pukul 13.00 WIT sampai 20.30 WIT.
Kedua, tindakan pemerintah melakukan pemblokiran internet secara menyeluruh di Provinsi Papua dan Papua Barat dari 19 Agustus 4 September 2019. Ketiga, tindakan pemerintah yang memperpanjang pemblokiran internet di empat Kabupaten di wilayah Papua yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya dan dua Kabupaten di wilayah Papua Barat yakni Kota Manokwari dan Kota Sorong pada 4 September pukul 23.00 WIT sampai 9 September 2019 pada pukul 20.00 WIT.
"Itu adalah perbuatan melanggar hukum oleh badan atau pejabat pemerintahan," tegasnya.
Selain itu, majelis hakim juga menghukum Menkominfo dan Presiden Jokowi untuk membayar biaya perkara secara tunai sebesar Rp 457 ribu.