Tanggapi Kerusuhan di Amerika, SBY: Saya Bukan Anti, tapi Tidak Mendewakan

Rabu, 03 Juni 2020 | 19:46 WIB
Tanggapi Kerusuhan di Amerika, SBY: Saya Bukan Anti, tapi Tidak Mendewakan
Susilo Bambang Yudhoyono jumpa pers di kediamannya, Puri Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (2/11). [Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mantan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberi tanggapannya mengenai kerusuhan yang terjadi karena kasus rasisme di Amerika Serikat. Ia mengaku dirinya bukan anti Amerika namun juga tidak mendewakan.

Melalui artikel panjangnya berjudul "Amerika, Are You OK?" yang dibagikan SBY lewat Facebook-nya, Presiden keenam Indonesia ini memaparkan pendapatnya soal Amerika dan kekuatannya di dunia.

SBY menjelaskan, dirinya bukan orang yang termasuk anti-Amerika atau anti-Barat.

"Menurut saya, sesuai amanah para pendiri republik, “politik bebas aktif” harus tetap menjadi haluan kita. Di era saya dulu, saya tambahkan lagi dengan “all direction foreign policy”. Artinya, menjalin hubungan baik ke segala penjuru dunia, apapun ideologi dan sistem politik yang dianut negara-negara itu. Syaratnya, mereka menghormati kedaulatan kita dan memiliki “common interests” dengan Indonesia," tulis SBY dikutip Suara.com, Rabu (3/6/2020).

Baca Juga: Pantau Kesiapan Masjid Jelang New Normal, JK: Yang Pakai Masker Boleh Masuk

Baca Juga: Protes George Floyd, Demonstran Bentrok dengan Polisi di Depan Gedung Putih

Meski demikian, SBY mengaku bahwa dirinya juga tidak mendewakan Amerika. Dengan membahas isi buku "The Rise and Fall of the Great Powers" karya Paul Kennedy, SBY menjelaskan bahwa negara-negara yang pernah berjaya juga bisa jatuh, atau menyusut pamornya.

"Amerika juga begitu. Tentu, saat ini Amerika masih “digdaya”. Tapi laksana matahari, ada masa terbit dan terbenamnya, kisah jaya dan jatuhnya sebuah negara akan selalu ada," tambah SBY.

Menurut SBY, ada tiga hal yang tengah menjadi pukulan besar bagi Amerika Serikat saat ini.

"Pertama, korban Covid-19nya tertinggi di dunia; kedua ekonominya tidak cerah; dan ketiga terjadi kerusuhan sosial yang meluas," sebut SBY.

Baca Juga: Jadwal Belajar dari Rumah TVRI dan Link Live Streaming Besok, 4 Juni 2020

Selain itu, SBY juga menelisik tiga skenario yang bisa terjadi usai kerusuhan rasisme Amerika ini.

"Skenario pertama, dengan penanganan yang tepat (paduan antara persuasi dan law enforcement) akhirnya aksi-aksi sosial yang cenderung rusuh itu bisa diredakan. Dugaan saya, ini skenario terbaik yang diinginkan oleh pemerintahan Trump. Saya kira mayoritas rakyat Amerika juga menginginkan demikian. Skenario ini tak memerlukan konsesi apapun yang mesti diberikan oleh pemerintah.

Skenario kedua, unjuk rasa makin meluas. Gabungan unsur polisi, National Guard dan elemen tentara federal (misalnya polisi militer) tak mampu menghentikan atau meredakannya. Para Gubernur dan Walikota dengan “resources” yang ada tak juga bisa mengatasi keadaan. Pemerintah Federal “terpaksa” melakukan negosiasi dengan elemen perlawanan masyarakat dengan pemberian konsesi tertentu.

Skenario ketiga, adalah kelanjutan dari skenario kedua. Ini terjadi jika situasi politik, sosial dan keamanan makin memburuk. Aksi-aksi kekerasan dan sekaligus perusakan makin meningkat intensitasnya. Presiden Trump dengan alasan untuk mencegah terganggunya keamanan nasional dan demi kepentingan umum akhirnya melakukan tindakan yang “tegas dan keras”" SBY menjabarkan.

Dari skenario tersebut, SBY mengharapkan terjadinya skenario yang ketiga. Hanya saja dia memasrahkannya pada rencana Presiden Trump.

Baca juga: Situasi Makin Tak Kondusif, Pentagon Kerahkan Ribuan Tentara ke Washington

SBY menuliskan jika ada kemungkinan Presiden Trump akan mengerahkan kekuatan militernya untuk mengatasi masalah tersebut.

"Tapi khusus keadaan sekarang ini, mungkin pertimbangan Trump lebih mendalam. Dia pasti tahu risiko dan harga yang harus dibayar kalau opsi militer ini yang dijalankan," kata SBY.

Lebih lanjut dalam tulisan itu, SBY juga menyebut jika pengambilan keputusan atas kasus rasisme di Amerika saat ini tak lepas dari suasana Pilpres Amerika yang akan dilaksanakan lima bulan lagi.

"Saat ini orang nomor satu di Amerika itu sedang menghadapi permasalahan yang pelik dan tantangan yang berat. Memang pemimpin sejati akan diuji apakah dalam menghadapi situasi krisis, dia bisa berpikir jernih serta bisa mengambil keputusan dan tidakan yang tepat. Sangat mungkin Trump bisa ke luar dari krisis besar ini. Satu-satunya tantangan berat yang dihadapi, menurut saya, adalah jika Trump dihinggapi perasaan takut. Fear," jelas SBY.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI