Kasus Floyd telah menyalakan kembali kemarahan yang mendalam atas pembunuhan polisi terhadap orang kulit hitam Amerika dan rasisme. Kebrutalan polisi ini mendorong gerakan Black Lives Matter dalam beberapa tahun terakhir.
Sebelumnya, Michael Brown di Ferguson, Missouri dan Eric Garner di New York juga menjadi korban kebrutalan polisi.
Pada 2014, Eric Garner dicekik oleh polisi karena dituduh menjual rokok ketengan secara ilegal dan dia terdengar berkata "Saya tidak bisa bernapas" ketika polisi menahannya.
Kata-kata Garner, yang juga disebut oleh Floyd di momen terakhir hidupnya, menjadi yel-yel yang diteriakkan oleh pendukung gerakan Black Lives Matter.
Baca Juga: Donald Trump Ancam Kerahkan Militer untuk Padamkan Kerusuhan di AS
Demonstrasi yang berjalan tidak hanya untuk mengekspresikan atas perlakuan terhadap Floyd, tapi juga mengecam kekejaman polisi atas perlakuan mereka terhadap warga kulit hitam di Amerika.
Orang Afrika-Amerika lebih mungkin ditembak secara fatal oleh polisi ketimbang kelompok etnis lain.
Mereka juga ditangkap karena penyalahgunaan narkoba pada tingkat yang jauh lebih tinggi ketimbang orang Amerika kulit putih, meskipun survei menunjukkan penggunaan narkoba pada kedua etnis itu sama.
Bagi banyak orang, kemarahan atas kematian Floyd juga mencerminkan frustrasi bertahun-tahun atas ketidaksetaraan dan diskriminasi sosial-ekonomi, tidak terkecuali di Minneapolis itu sendiri.
Peristiwa itu juga bermula ketika pandemi virus corona tengah berlangsung, yang menurut penelitian telah secara proporsional mempengaruhi orang kulit hitam Amerika yang kehilangan pekerjaan.
Baca Juga: Bak Diktator, Donald Trump Ancam Libatkan Militer Setop Demonstrasi
Tetapi protes juga menggemakan gerakan hak sipil yang bermula lebih dari 50 tahun yang lalu. Tindakan ini dipimpin oleh Martin Luther King Jr dan berusaha untuk menantang supremasi kulit putih dan kebijakan pro segregasi yang biasa pada saat itu.