Suara.com - Menjelang awal tahun ajaran baru 13 Juli mendatang, sejumlah guru dan orang tua menyatakan khawatir dengan perkembangan akademik para siswa setelah diterapkannya pendidikan jarak jauh (PJJ) untuk menekan penularan Covid-19.
Mereka mengatakan, keterbatasan fasilitas pendukung hingga ketidaksiapan siswa belajar di rumah, membuat sistem itu "belum efektif"- keadaan yang mengakibatkan capaian akademik siswa "tertinggal", menurut seorang pengamat pendidikan.
Ada orang tua siswa yang berharap anaknya segera kembali ke sekolah, tapi ada juga yang tidak sepakat kegiatan belajar secara tatap muka diberlakukan karena alasan kesehatan.
Sementara, pemerintah meminta pihak terkait memanfaatkan fasilitas yang ada untuk mengoptimalkan PJJ.
Baca Juga: Tempat Ibadah hingga Sekolah Bersiap New Normal, Jokowi Ingatkan Hal Ini
Tahun ajaran baru dan skenario kembali ke sekolah, mengapa ada penolakan dari orang tua siswa? Beberapa hari dibuka, ratusan sekolah di Korea Selatan harus ditutup lagi karena lonjakan kasus virus corona Guru honorer jual barang, orang tua siswa tunggak iuran sekolah: 'Mending untuk makan' Kisah guru di Jawa Barat mendatangi rumah murid-muridnya yang tidak punya gawai dan sulit akses siaran televisi 'Tak belajar selama tiga bulan'
Oktoriyadi, guru sekolah dasar negeri di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, mengatakan sudah tiga bulan belakangan siswa-siswanya tidak menjalani pendidikan sebagaimana mestinya.
Alih-alih belajar di rumah, siswanya kini hanya membantu orang tua mereka masing-masing berladang karena tidak adanya layanan internet di desa itu.
"Saya kan daerahnya termasuk daerah tertinggal. Di sana belum ada sinyal. Jangankan sinyal internet, untuk telepon, SMS itu pun hanya tempat tertentu saja yang ada sinyalnya," ujar Oktoriyadi.
Menonton siaran TVRI pun tidak bisa karena tidak adanya sumber listrik di siang hari, ujar Oktoriyadi. Itu membuatnya khawatir.
Baca Juga: Dikira Belajar, Ternyata Sosok Ini yang Dipergoki Sang Ibu di Kamar
"Saya sangat mengkhawatirkan anak-anak tidak mendapat akses pendidikan."
"Kalau saya pikir di daerah saya, sebaiknya anak-anak diberlakukan sekolah seperti biasa, dengan pertimbangan di sana belum juga terlalu zona merah. Sekolah bisa dilaksanakan dengan protokol pencegahan Covid-19, seperti menjaga jarak," kata Oktoriyadi.
Kapuas Hulu tercatat memiliki satu kasus positif Covid-19 dengan dua pasien dalam pengawasan (PDP) dan lebih dari 500 orang dalam pemantauan (ODP) per tanggal 1 Juni 2020.
Sementara, di Tegalwaru, Purwakarta, Jawa Barat, keadaannya sedikit lebih baik meski penuh tantangan, seperti dituturkan seorang guru sekolah dasar negeri, Dian Misastra.
Ia mengatakan tak semua dari siswanya, yang kebanyakan anak dari petani, memiliki ponsel. Karenanya, ia harus mengunjungi rumah siswa-siswanya untuk mengajar secara langsung, hal yang dilakukannya secara sukarela meski dikatakannya "belum mendapatkan insentif".
Meski begitu, ia mengatakan tak mungkin kurikulum yang normal bisa diterapkan dalam PJJ. Jika sekolah baru dibuka akhir tahun atau awal tahun depan, dampaknya pun akan sangat besar bagi siswa, katanya.
Maka itu, ia berpendapat, jika situasi sudah aman dan memungkinkan, sekolah mestinya dapat dibuka kembali.
"Misalnya zona di sini nggak terlalu berbahaya, nggak harus semua sekolah dirumahkan. Ada yang kondisi aman, lanjut masuk sekolah dengan protokol kesehatan," ujarnya.
'Anak belum siap'
Selain keterbatasan fasilitas, sistem PJJ juga dinilai belum efektif karena ketidaksiapan siswa belajar di rumah.
Pendi, orang tua siswa kelas IX di sebuah sekolah di Pamulang, Tangerang Selatan, menceritakan apa yang diamatinya.
"Berantakan [cara belajarnya]. Ya [anak] berpikirnya main saja. Yang jelas, anaknya nggak siap untuk belajar di rumah," ujarnya.
"Kalau ujian yang jawab malah ibunya. Saat ujian, minta (jawaban) di Google, jadi nggak murni itu," ujarnya.
Pendi mengatakan tak masalah jika anaknya kembali bersekolah, asal protokol jaga jarak aman bisa dijalankan.
Namun, sikap orang tua murid lain, Ardi, warga Bintaro, Jakarta Selatan, berbeda.
"Pilihannya itu kan keselamatan anak atau anak bodoh. Kasarnya begitu. Kalau kita disuruh pilih, ya pilih anak selamat dong," ujar Ardi, ayah dua anak laki-laki yang duduk di bangku TK dan SD itu.
Ia mengatakan juga tak keberatan jika generasi pelajar saat ini, yang terdampak Covid-19, diminta mengulangi pelajaran yang tidak bisa mereka terima saat pandemi di kemudian hari.
"Karena mereka benar-benar missed (ketinggalan) pelajaran. Takutnya mereka dipaksain naik [kelas], tapi tidak mampu, ada yang kelewat silabusnya," ujarnya.
'PJJ hingga Desember'
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah menganjurkan pemerintah untuk tetap menerapkan PJJ, setidaknya sampai Desember 2020.
IDAI menyebut kasus infeksi Covid-19 pada anak Indonesia cukup tinggi, yakni dengan lebih dari 500 kasus dan setidaknya 14 kematian.
Sementara, 129 anak berstatus meninggal dalam status pasien dalam pengawasan (data hingga pertengahan Mei).
Berkaitan dengan itu, lebih dari 97.000 orang telah menandatangani petisi daring untuk mendesak penundaan masuk sekolah selama pandemi.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sendiri mengatakan tahun ajaran baru akan dimulai 13 Juli mendatang, tapi itu tak berarti kegiatan belajar tatap muka di sekolah kembali dimulai.
Pelaksana tugas (PLT) Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, dan Menengah Kemendikbud, Hamid Muhammad, mengatakan sekolah akan kembali dibuka tergantung perkembangan kondisi daerah masing-masing dan kesehatan siswa akan menjadi prioritas pemerintah.
Evaluasi PJJ
Merespons hal itu, peneliti sosiologi pendidikan LIPI, Anggi Afriansyah, mengatakan pandemi ini jelas membuat proses capaian akademik para siswa tertinggal.
"Kalau sampai akhir tahun [sekolah] hanya melakukan PJJ, dampaknya secara akademik adalah akan tertinggal dan pasti banyak mekanisme assessment yang tak bisa dilakukan, dalam arti tes-tes sekolah," ujar Anggi.
"Dalam sekolah vokasi, praktik-praktik magang tertunda. Namun, saya pikir nggak masalah dibanding kita mengejar capaian akademik. Keselamatan menurut saya yang utama," ujarnya.
Anggi mengatakan dalam jangka pendek, pemerintah pusat maupun daerah perlu melakukan evaluasi terhadap sistem PJJ untuk menemukan solusi-solusi dari masalah yang terjadi di lapangan.
Ke depannya, kata Anggi, pemerintah perlu memikirkan langkah-langkah percepatan capaian akademis siswa, ujarnya.
Sementara itu, menanggapi sejumlah kendala dalam PJJ, PLT Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, dan Menengah Kemendikbud, Hamid Muhammad, mengatakan dalam keterangan tertulis, ia mengimbau orang tua mendampingi anaknya belajar di rumah.
Untuk daerah yang terkendala internet, ia meminta siswa belajar melalui TVRI, RRI, atau buku pegangan siswa.
"Kalau TVRI tidak ada akses, bisa pakai RRI atau radio lokal dan guru kunjung," sebutnya.