Pengamat Sebut Penerapan New Normal di Indonesia Mentah

Jum'at, 29 Mei 2020 | 21:13 WIB
Pengamat Sebut Penerapan New Normal di Indonesia Mentah
Ilustrasi corona dan peta Indonesia
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Peneliti The Indonesia Institute (TII) Nopitri Wahyuni menilai skenario hidup tatanan baru atau New Normal yang akan diterapkan pemerintah mesti dikaji ulang. Pernyataan itu disampaikannya, lantaran melihat kesiapan serta kemampuan Indonesia dalam menangani pandemi Virus Corona atau Covid-19.

Nopitri mengatakan, skenario New Normal bisa diterapkan apabila memenuhi enam syarat yang dikemukakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Salah satu syaratnya, yakni negara tersebut dapat meyakini kurva kasus Covid-19 sudah menurun sebagai konsekuensi transimisi virusnya terkendali.

Berkaca dari kasus itu, Nopitri menilai Indonesia nampaknya belum memenuhi syarat, karena secara garis besar kurva kasus Covid-19 masih merangkak naik setiap harinya.

"Kenormalan baru di Indonesia terbilang masih mentah. Perlu ada kajian ulang yang melibatkan pakar multidisiplin untuk menentukan apakah 'New Normal' dapat diterapkan," kata Nopitri dalam keterangan tertulisnya, Jumat (29/5/2020).

Baca Juga: Jelang New Normal, Pemerintah Klaim Kasus Positif di Jakarta Cukup Stabil

Negara-negara lain yang menerapkan New Normal, disebutnya, sudah memiliki protokol kesehatan yang baik, seperti Korea Selatan (Korsel). Sebelum melanggengkan New Normal, Pemerintah Korsel telah memiliki infrastruktur kesehatan yang memadai serta panduan penerapannya detail, baik dalam kebijakan tempat kerja maupun sekolah.

Selain itu, rasio tes cepat (rapid test) di Indonesia termasuk yang paling buruk di 40 negara terdampak Virus Corona. Seperti yang diungkapkan Bappenas, hanya 940 tes yang dilakukan per 1 juta orang. Perkara lain juga ditemukan terkait pengadaan alat kesehatan dan SDM khusus Covid-19 di tanah air yang masih terbatas.

"Tantangan kenormalan baru juga melihat kapasitas kesehatan di Indonesia selain kerentanan risiko penyebaran virus per daerah," ujarnya.

"Apalagi kapasitas ini belum terdistribusi secara merata di berbagai daerah di Indonesia karena layanan kesehatan yang masih rentan, baik karena ketersediaan tenaga medis, fasilitas kesehatan maupun anggaran kesehatan," tambahnya.

Selain itu, WHO juga menyatakan harus ada tindakan mengurangi penyebaran wabah dengan pengaturan ketat di lokasi dengan kerentanan tinggi, seperti rumah lanjut usia (lansia), fasilitas kesehatan mental maupun pemukiman dengan kepadatan tinggi.

Baca Juga: Jabar Bakal Terapkan New Normal di 15 Kabupaten/Kota

Akan tetapi yang terjadi di Indonesia, kelompok rentan positif Covid-19 berada pada cakupan usia 31-59 tahun, yang terbilang masuk pada kategori usia produktif dan tentu terlibat aktif dalam perekonomian.

"Dengan kerentanan paling tinggi pada kelompok usia produktif, sebenarnya perlu dievaluasi lagi apakah sebelumnya protokol kesehatan pada masa pembatasan sosial telah diterapkan dengan baik. Hal ini sangat penting untuk melihat kesiapan 'new normal'," ucapnya.

Oleh karena itu, Nopitri menyebutkan bahwa pada dasarnya kebijakan kenormalan baru juga harus melibatkan tanggung jawab sosial atau kesadaran publik. Namun, yang menjadi masalah ialah masih banyak masyarakat abai terhadap seruan protokol kesehatan masyarakat.

"Dengan membuka aktivitas melalui kenormalan baru, tentu akan membutuhkan upaya dan biaya lebih untuk melakukan komunikasi berbasis risiko kepada kasus Covid-19 masih meningkat setiap harinya," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI