Suara.com - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menganggap disahkannya Undang Undang Mineral dan Batu Bara atau Minerba menandakan bentuk otoriter dari rezim Pemerintahan Jokowi Widodo - Ma'ruf Amin.
Asfinawati menyebut, indikasi rezim otoriter itu tampak dari pasal-pasal dalam UU tersebut yang tidak memberi ruang aspirasi publik dengan kebijakan-kebijakan sentralistik.
"Indikator pemerintahan yang otoriter bisa kita lihat dari pasal-pasalnya. Salah satunya bisa dilihat dari otonomi daerah direbut dalam UU Minerba yang baru," kata Asfinawati dalam Sidang Rakyat Tandingan yang digelar koalisi #BersihkanIndonesia secara daring, Jumat (29/5/2020).
Kebijakan otonomi daerah sudah tak ada lagi dalam UU Minerba yang baru. Semua kebijakan, mulai dari perizinan ekplorasi lahan pertambangan, Amdal dan perizinan lainnya semua diambil alih pemerintah pusat yang sarat kepentingan investor.
Baca Juga: Larangan Mudik, Jasa Marga Catat 171 Ribu Kendaraan Menuju Jakarta
Menurutnya, UU Minerba yang baru disahkan dengan tergesa-gesa dan tak tramsparan itu adalah kongkalikong para elit oligarki yang terafiliasi dengan pemerintah yang sedang berkuasa. Sebab, RUU Omnimbuslaw Cipta Kerja yang mengutamakan kepentingan investasi belum kunjung disahkan.
"Jadi UU Minerba ini adalah simbol pemerintahan otoriter. Produk UU ini barter antara pengusaha, antara RUU Omnimbuslaw Cipta Kerja dengan UU Minerba," ujarnya.
Dia menambahkan, perumusan UU Minerba hingga disahkan itu merupakan sinyal dari Pemerintah dan DPR kepada rakyat bahwa mereka bisa melakukan apa saja sesuai keinginannya tanpa harus ada partisipasi publik.
"Oleh karena itu dalam sidang rakyat kali ini kita menyampaikan pesan, wahai tukang mengurus negara (Pemerintah dan DPR), rakyat sudah muak dengan segala macam korupsi kolusi dan nepotisme yang berbalut Undang-undang. Maka kami tidak mengakui dan membatalkan UU Minerba yang baru," tegasnya.
Baca Juga: Respons Pekerja soal New Normal: Banyak Rakyat Bisa Mati karena Virus