Akan tetapi tidak semua konsumen merasa puas. Yunni Marsid berbagi pengalaman ketika ada pemesan yang mengadu karena pesanannya datang terlambat.
"Sudah dikasih tahu kalau terlambat dalam pengiriman itu diluar kontrol kita, masih saja tak terima kalau ada keterlambatan dan tak mau memahami bahkan menuntut tanggung jawab penjual," ia mengisahkan.
Konsumen lainnya mengadu karena kemasan lapis Surabaya yang dipesan rusak sehingga keamanan isinya diragukan. Tetapi setelah hendak dikembalikan pembayarannya, si konsumen menolak karena mengaku lapis itu "sudah dimakan".
Dan tidak hanya itu persoalan yang muncul. Tidak semua bahan yang diperlukan untuk memasak makanan Indonesia tersedia di toko-toko, walau toko makanan dan supermarket tetap buka selama karantina sejak tanggal 23 Maret lalu.
Baca Juga: Akibat Pandemi Covid-19, Keluarga Kerajaan Inggris Alami Krisis Keuangan
Pada umumnya bahan dan bumbu diimpor dari negara-negara Asia, seperti laos, serai, daun jeruk dan terasi. Bahan-bahan itu dijual di toko Asia atau oriental grocer.
"Kendala utama dalam masa lockdown adalah keterbatasan stok bahan masakan terutama untuk bahan-bahan asal Asia. Di samping itu, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengikuti prosedur social distancing (jaga jarak)," jelas Ina Nugroho merujuk pada antrean panjang di depan toko sembari menjaga jarak dua meter.
Betapapun, Ina Nugraha dan Yunni Marsid merasa beruntung karena berhasil menggaet konsumen ketika banyak restoran dan kafe di Inggris tidak beroperasi. Pemerintah Inggris mengharuskan tempat-tempat itu hanya melayani pesanan untuk dibawa pulang atau diantar selama karantina wilayah.
Inggris tercatat sebagai negara dengan jumlah kematian terbanyak di Eropa akibat Covid-19, 37.460 orang hingga Rabu (27/05).
Baca Juga: Inggris Legalkan Remdesivir untuk Antivirus Pasien Covid-19, Obat Apa Itu?