Sebelum New Normal, PKS Minta Pemerintah Jujur Soal Penanganan Covid-19

Kamis, 28 Mei 2020 | 00:50 WIB
Sebelum New Normal, PKS Minta Pemerintah Jujur Soal Penanganan Covid-19
Wakil Ketua Fraksi PKS Sukamta. [Suara.com/Ummi Hadyah Saleh]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta meminta pemerintah jujur terlebih dahulu, sebelum mulai penerapan kebijakan tatanan kehidupan baru atau New Normal.

Hal tersebut menyusul pernyataan pemerintah yang baru saja meminta maaf, karena belum bisa menghilangkan pandemi Virus Corona atau Covid-19.

Sukamta masih ingat dengan permohonan maaf yang disampaikan oleh Wakil Presiden Maruf Amin kepada publik karena pemerintah masih sulit mengatasi virus yang kali pertama mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Akan tetapi yang ditunjukkan pemerintah kepada masyarakat pada umumnya, kalau kondisi pandemi Covid-19 justru seakan-akan membaik.

"Saat ini protokol beradaptasi dengan tatanan normal baru sudah diterbitkan Kemenkes, Pak Presiden juga sudah minta agar ada sosialiasi secara masif terhadap protokol ini, kan sudah jelas arahnya ke depan pelonggaran PSBB," kata Sukamta dalam keterangan tertulisnya, Rabu (27/5/2020).

Baca Juga: Pemerintah Siapkan Skenario Protokol Normal Baru yang Produktif dan Aman

"Mestinya pemerintah jelaskan secara jujur, benarkah situasi penanganan Covid-19 saat ini sudah semakin terkendali atau wacana new normal ini hanya sebagai kedok untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah tangani Covid-19?," tambahnya.

Dalam catatannya, Sukamta menemukan lima persoalan mendasar dalam penanganan Covid-19 yang dilakukan pemerintah sejak awal. Persoalan pertama ialah pemerintah tidak memiliki grand desain yang jelas untuk menangani Covid-19. Apalagi setalah masa tanggap darurat berjalan hampir tiga bulan lamanya, tahapan yang dilakukan pemerintah pun tidak jelas selain hanya pandai berwacana soal pelonggaran PSBB dan new normal.

Kemudian persoalan kedua ialah pada sistem koordinasi. Sukamta tidak melihat jelas garis komando antara presiden, kementerian dan gugus tugas hingga pemerintah daerah.

Semisal, ketika Presiden Jokowi menyampaikan pernyataannya menagih jajarannya untuk bisa memenuhi target 10 ribu uji spesimen per hari. Menurutnya pesan yang disampaikan Jokowi tidak jelas diperuntukkan kepada siapa.

"Ini semakin menunjukkan selama ini tidak ada koordinasi yang baik di pemerintah pusat. Sementara komunikasi dengan daerah juga seperti dalam soal pengaturan transportasi yang simpang siur," ujarnya.

Baca Juga: Ganjar Pranowo Bertemu Uskup Agung Semarang, Cek Persiapan Normal Baru

Kemudian persoalan yang ketiga disaat Jokowi yang juga menagih target uji spesimen itu, nyatanya belum bisa dilakukan secara optimal karena baru dua kali uji spesimen bisa melampaui target.

Di sisi lain, angka-angka spesimen yang diumumkan oleh juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 tak memberikan gambaran nyata terkait penyebaran virus itu sendiri. Bahkan banyak ahli epidemiologi yang mengkritiknya.

"Ini artinya jika kurva Covid-19 yang tersaji hingga saat ini tidak bisa menjadi rujukan dalam membuat kebijakan pelonggaran karena masih terbatasnya pengujian yang dilakukan," ujarnya.

Lalu, persoalan yang kelima yakni pelaksanaan PSBB di berbagai daerah yang tidak optimal dan justru banyak pelanggaran. Situasi tersebut dapat diartikan masih rendahnya kedisplinan masyarakat Indonesia.

Kalau kondisi yang terjadi seperti itu, Sukamta pun mempertanyakan apakah Indonesia akan siap menjalani hidup new normal dengan protokol kesehatan yang mesti dilakukan.

"Jadi sangat penting kejujuran pemerintah dalam situasi saat ini, seberapa jauh berbagai persoalan mendasar yang kami sebut tadi sudah tertangani dengan baik," katanya.

Ia juga meminta kepada pemerintah untuk mengurangi mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bernada meremehkan seperti halnya Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md yang pernah membandingkan angka kematian akibat Covid-19 ketimbang angka kematian akibat kecelakaan.

"Komentar-komentar seperti ini bisa mendorong masyarakat menjadi permisif dan akhirnya mengurangi kewaspadaan," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI