Suara.com - Tenaga medis, sebagai garda terdepan dalam penanganan kasus Covid-19 memiliki tugas yang cukup berat. Bahkan ada beberapa yang merayakan Hari Raya Idul Fitri di rumah sakit atau puskemas.
Pilunya lagi, sejumlah tenaga medis ada yang belum mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) bahkan mengalami pemotongan gaji. Misalnya sejumlah tenaga medis dengan status Tenaga Harian Lepas (THL) harus merayakan lebaran tahun ini tanpa mendapat THR.
Contohnya adalah Mohamad Fadly Mahardika, yang akrab disapa Fadly, ia bekerja sejak tahun 2017 dengan status sebagai THL perawat di sebuah puskesmas di Tangerang, Banten.
Dikutip dari ABC Indonesia, Fadly mengungkapkan ia menerima gaji sebesar Rp3,9 juta per bulan dan belum pernah menerima THR dari pemerintah provinsi.
Baca Juga: Siti Fadilah Dikunci saat Didatangi Deddy Corbuzier, Perawat Dilarang Masuk
Namun ia mengaku sempat mendapat THR dari sumbangan rekan kerja pegawai negeri sipil (PNS) lainnya atau pihak puskesmas.
"Saya hanya menerima THR dari puskesmas saja di tahun 2017 dan 2018 sebesar Rp 150 ribu, 2019 sebesar Rp 200 ribu, dan 2020 sebesar Rp 400 ribu," ujar Fadly.
"Tidak ada (THR) dari Pemda ataupun instansi Dinas Kesehatan." tambahnya.
Nasib serupa juga diterima oleh seorang perawat di sebuah puskesmas di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, juga belum pernah menerima THR.
"Taruhan kami nyawa, tapi upah ala kadarnya" ujar Satya, bukan nama sebenarnya.
Baca Juga: Sebulan Menderita Corona, Seorang Perawat WNI Meninggal di Kuwait
Padahal, ia mengaku jika beban pekerjaannya meningkat di tengah pandemi Covid-19.
Selain bertugas di puskesmas, Satya juga dan 20 perawat lainnya, bergantian menjaga posko covid-19 yang bersiap menangani pasien virus corona.
Gaji yang diterima Satya yang juga berstatus perawat THL di Jawa Tengah, per bulan adalah Rp 1,3 juta atau sekitar Rp 47.500 per hari. Gaji itu masih di bawah standar Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun ini, yakni Rp 1,7 juta.
"Bisa dihitung sendiri berapa besaran gaji kami dengan tanggung jawab seperti itu. Taruhan kami terus terang kan nyawa, tapi upah kami ala kadarnya," ungkap Satya kepada Natasya Salim dari ABC News di Melbourne.
Satya juga mengaku harus mencari sendiri alat pelindung diri (APD), karena tiap tenaga kesehatan di puskesmas tempatnya bekerja hanya dijatah satu APD per minggu.
"Jadi pertama kali, kami menggunakan jas hujan yang harganya Rp 15 ribu atau Rp 20 ribu berbahan plastik tipis," kata Satya.
Sedangkan masker hanya dijatah empat buah per minggu, itu pun menurut Satya tidak memenuhi standar kesehatan.
"Tidak ada kacamata. Mau pakai uangnya siapa? Gaji Rp1,3 juta saja masih beli perlengkapan sendiri," tambahnya.
Kondisi APD yang tidak sesuai dengan ketentuan, membuatnya khawatir untuk bertemu dengan anggota keluarganya seusai bekerja karena takut menulari.
Gaji dipotong
Gaji yang diterima Satya tentu tidak sebanding dengan jam kerja yang melebihi batas jam kerja PNS, yakni 7,5 jam per hari atau 150 jam per bulan, merujuk pada PP Nomor 53 Tahun 2010 dan Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995 tentang Hari Kerja di Lingkungan Lembaga Pemerintah.
"Kalau saya, di puskesmas, [waktu] piket saya sekitar 17 sampai 20 jam. Kalau dihitung jam kerjanya, ya lebih [dari batas jam kerja PNS], sekitar 180 jam," katanya Satya yang masih harus bekerja di luar piket.
Namun, pemotongan gaji perawat atau THR yang tidak dibayarkan bukan hanya dirasakan oleh perawat dengan status lepas seperti Fadly dan Satya.
Menurut Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), ada ratusan perawat, baik di rumah sakit pemerintah atau pun swasta, yang gajinya dipotong atau tidak menerima THR.
"Sampai hari ini (25/05) sudah 330 laporan yang masuk," ungkap Maryanto, Sekretaris Badan Bantuan Hukum PPNI.
Dari ratusan laporan yang masuk, 65 persen di antaranya adalahkaryawan lepas atau kontrak, sementara 35 persen lainnya pegawai tetap. Sedangkan di DKI Jakarta, 74 rumah sakit telah memotong gaji atau THR perawat.
Menurut Maryanto, rumah sakit memberikan alasan yang beragam mengapa hingga memotong gaji dan THR. Misalnya beberapa rumah sakit swasta, mengacu pada penurunan jumlah 'Bed Occupancy Ratio' (BOR), atau jumlah tempat tidur yang diisi pasien dalam jumlah tertentu, dan rendahnya angka pengunjung.
Seentara rumah sakit pemerintah mengaku memotong gaji karena anggaran dari pemerintah baik pusat maupun daerah hingg kini belum turun.
Posko pengaduan THR untuk perawat
Untuk mewadahi tenaga medis yang memiliki nasib serupa dengan Satya dan Fadly, Badan Bantuan Hukum PPNI membuka posko pengaduan bagi para perawat yang belum menerima THR atau yang THR-nya dipotong.
"Posko aduan ini kami buat dalam bentuk online, karena teman-teman banyak yang mengadu tapi takut," kata Maryanto.
Maryanto mengungkapkan para perawat takut mengangkat masalah ini karena risiko dimutasi bahkan diberhentikan dari pekerjaannya.
Pada Sabtu (23/05), Maryanto menyebutkan dari aduan online sejak 16 Mei 2020 lalu, 74 rumah sakit di DKI Jakarta telah memotong gaji atau THR perawat mereka.
Sejumlah 38 rumah sakit di Sulawesi Tenggara juga memotong gaji atau THR tenaga meid, di Aceh ada 24, Banten 22, dan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ada 12.
"Bahkan di Tangerang dan Pati itu sejak 2016 tidak memberikan THR sampai sekarang," ungkap Maryanto.
"Sebetulnya kami tidak melulu menuntut ke persoalan materi. Namun ketika melihat kondisi rekan-rekan di bawah sudah tidak pulang berbulan-bulan karena bertugas di isolasi, kami sebagai pengurus harus bereaksi."
Satya menaruh harapan kepada Pemerintah, baik di tingkat daerah, provinsi, dan pusat untuk dapat lebih memperhatikan kelayakan gaji THL sesuai dengan beban tanggung jawab para perawat.
"Kami berharap dapat diperhatikan tunjangan-tunjangan, minimal THR atau insentif per bulannya," kata Satya.
Padahal Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia pada 6 Mei lalu sempat menerbitkan surat edaran yang mewajibkan pemberi pekerjaan untuk membayarkan THR kepada karyawannya, dengan cara dicicil, atau lainnya yang disepakati bersama.
Akhir Maret lalu Presiden Joko Widodo juga telah mengumumkan insentif bagi tenaga kesehatan yang menangani Covid-19 di daerah tanggap darurat senilai Rp7,5 juta bagi perawat.
Rencananya, posko pengaduan BBH PPNI akan terus dibuka sampai tanggal 31 Mei 2020. Hasil pengaduan yang masuk akan diserahkan kepada Kementerian Ketenagakerjaan RI bidang pengawasan.
Perawat yang ingin melakukan pengaduan bisa langsung mengisi formulir online berikut.