"Kalau saya, di puskesmas, [waktu] piket saya sekitar 17 sampai 20 jam. Kalau dihitung jam kerjanya, ya lebih [dari batas jam kerja PNS], sekitar 180 jam," katanya Satya yang masih harus bekerja di luar piket.
Namun, pemotongan gaji perawat atau THR yang tidak dibayarkan bukan hanya dirasakan oleh perawat dengan status lepas seperti Fadly dan Satya.
Menurut Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), ada ratusan perawat, baik di rumah sakit pemerintah atau pun swasta, yang gajinya dipotong atau tidak menerima THR.
"Sampai hari ini (25/05) sudah 330 laporan yang masuk," ungkap Maryanto, Sekretaris Badan Bantuan Hukum PPNI.
Baca Juga: Siti Fadilah Dikunci saat Didatangi Deddy Corbuzier, Perawat Dilarang Masuk
Dari ratusan laporan yang masuk, 65 persen di antaranya adalahkaryawan lepas atau kontrak, sementara 35 persen lainnya pegawai tetap. Sedangkan di DKI Jakarta, 74 rumah sakit telah memotong gaji atau THR perawat.
Menurut Maryanto, rumah sakit memberikan alasan yang beragam mengapa hingga memotong gaji dan THR. Misalnya beberapa rumah sakit swasta, mengacu pada penurunan jumlah 'Bed Occupancy Ratio' (BOR), atau jumlah tempat tidur yang diisi pasien dalam jumlah tertentu, dan rendahnya angka pengunjung.
Seentara rumah sakit pemerintah mengaku memotong gaji karena anggaran dari pemerintah baik pusat maupun daerah hingg kini belum turun.
Posko pengaduan THR untuk perawat
Untuk mewadahi tenaga medis yang memiliki nasib serupa dengan Satya dan Fadly, Badan Bantuan Hukum PPNI membuka posko pengaduan bagi para perawat yang belum menerima THR atau yang THR-nya dipotong.
Baca Juga: Sebulan Menderita Corona, Seorang Perawat WNI Meninggal di Kuwait
"Posko aduan ini kami buat dalam bentuk online, karena teman-teman banyak yang mengadu tapi takut," kata Maryanto.