Suara.com - Pandemi virus corona covid-19 menjadi momok yang sangat menakutkan bagi dunia saat ini, ratusan ribu nyawa telah hilang karenanya. Kegiatan ekonomi juga ikut hancur karena pembatasan wilayah di mana-mana.
Terlebih di negara-negara yang berperekonomian kapitalistik, sangat terasa dampaknya.
Perusahaan tidak bisa bergerak karena pembatasan kegiatan yang tidak memungkinkan pekerjanya untuk keluar rumah dan menghabiskan upah.
Oleh karena itu, muncul anggapan bahwa pandemi virus corona ini merupakan tanda dari akhir ekonomi kapitalis.
Baca Juga: 3 Aktivis Aksi Kamisan Ditangkap, Polisi: Motifnya Melawan Kapitalisme
Dalam artikel berjudul "Will coronavirus signal the end of capitalism?" yang diterbitkan di Al Jazeera, Paul Mason menjelaskan adanya kemungkinan tersebut.
Anggapan tersebut berkaca dari peristitiwa black death, pandemi yang disebabkan oleh bakteri Yersina pestis, menyebar dari Mongolia e Eropa barat pada tahun 1340.
Pandemi tersebut menyerang ibu kota Eropa dan merenggut nyawa setidaknya sepertiga dari semua manusiasaat itu.
Ketika semuanya berakhir, pemberontakan dimulai, institusi-institusi jatuh, dan seluruh sistem ekonomi dikonfigurasi ulang.
Dengan banyaknya korban, menyebabkan pengurangan jumlah pekerja dan menimbulkan sistem baru yang segera diterjemahkan ke dalam konsep-konsep kebebasan.
Baca Juga: Di Balik Paras Kapitalisme AS, Gelandangan di Negeri 'Pakde Sam'
Sejak saat itu mulai suatu proses perubahan ekonomi yang mengakhiri sistem feodal dan beberapa orang berpendapat, memicu bangkitnya kapitalisme.
Melihat kejadian tersebut, Covid-19 ini dianggap sebagai mimpi buruk bagi kapitalisme dan menyebabkan dampak yang lebih kompleks pada sistem ekonomi.
"Hari ini, kapitalisme menghadapi mimpi buruknya. Virus Covid-19 dapat membunuh antara 1 hingga 4 persen dari mereka yang terpapar, itu akan berdampak pada ekonomi yang jauh lebih kompleks daripada yang ada pada tahun 1340-an," tulis Simon Mason seorang jurnalis asal London tersebut.
Dampak tersebut terlihat dari kegiatan negara-negara besar dalam merespons pandemi ini. Seperti penutupan kegiatan di sebagian besar Cina, India, sebagian besar Eropa dan banyak negara di Amerika.
Kemudian kerusakan signifikan terhadap reputasi pemerintah dan elit politik yang menolak keseriusan wabah ini. Atau terbukti tidak mampu memobilisasi sistem perawatan kesehatan sebagai bentuk penanggulangan krisis.
Simon menggambarkan adanya pembatasan tersebut merupakan sebuah tanda kehancuran fondasi kapitalisme akibat serangan pandemi Covid-19.
"Kali ini fondasi runtuh, semua kehidupan ekonomi dalam sistem kapitalis didasarkan pada memaksa orang untuk pergi bekerja dan menghabiskan upah mereka," tulisnya.
"Karena pandemi virus corona saat ini harus memaksa orang-orang untuk menjauh dari pekerjaan, dan dari semua tempat yang biasanya merekan gunakan untuk menghabiskan gaji yang diperoleh dengan susah payah."
Tanggapan senada tentang adanya kemungkinan runtuhnya kapitalis juga disampaikan analis dari kelompok investasi Australia, Macquarie Wealth.
"Kapitalisme konvensional sedang sekarat, atau setidaknya bermutasi menjadi sesuatu yang lebih dekat dengan versi komunisme," kata salah satu ekonom perusahaan paling kapitalis di dunia, dikutip dari Al Jazeera.
Dari kasus-kasus dan pendapat di atas, Simon menyatakan adanya kemungkinan Covid-19 akan mengubah atau bahkan menghancurkan kapitalisme.
"Jika wabah besar abad ke-14 memicu imajinasi pasca-feodal, adalah mungkin bahwa (Covid-19) ini memicu imajinasi pasca-kapitalis."