“Hasil pembicaraan dengan mitra kami di beberapa negara bagian, kami dengar hanya 15% perempuan punya akses ke pembalut selama karantina.”
Masalah berawal ketika India menerapkan karantina tanggal 25 Maret, dan pembalut tidak dimasukkan ke dalam barang esensial yang tak dibatasi peredarannya.
Akibatnya, tanggal 29 Maret apotek, toko dan situs belanja daring kehabisan. Barulah pemerintah memasukkan sebagai barang esensial. Keterlambatan ini menyebabkan kehilangan waktu produksi selama 10 hari.
“Ketika pemerintah memperbolehkan kami beroperasi, butuh tiga sampai empat hari untuk membuka pabrik lagi karena perlu ada izin bagi pekerja kami,” kata Rajesh Shah, Presiden Asosiasi Feminine and Infant Hygiene India, kepada BBC.
Baca Juga: Soal Penanganan Pasca Badai Amphan di India, Ribuan Warga Kolkata Demo
Shah mengatakan produksi baru beroperasi sebagian karena ada kekurangan pekerja yang telah meninggalkan kota menuju kampung halaman mereka.
“Hanya 60% pabrik yang beroperasi, dan tak ada yang beroperasi dengan kapasitas penuh. Banyak terjadi kekurangan pekerja, atau pabrik yang terletak di kawasan tertutup sehingga tidak boleh buka. Juga ada gangguan terhadap pasokan dan distribusi”.
Dampaknya sudah terasa di berbagai daerah di India
Tanya Mahajan dari Menstrual Health Alliance of India (MHAI), adanya “gangguan yang signifikan” terhadap pasokan, terutama di daerah pedesaan terpencil.
“Yang pertama menderita, pasti yang terjauh jaraknya,” katanya.
Baca Juga: Topan Amphan India - Bangladesh Tewaskan 88 Orang
“Di desa terpencil pembalut tak tersedia di toko setempat. Orang harus pergi ke kota terdekat yang jaraknya bisa 10-40 kilometer. Karena sekarang sedang ada pembatasan pergerakan, angkutan umum juga tidak ada”.