Suara.com - Pengamat lingkungan mengatakan kualitas udara di Jakarta membaik selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), ditandai penurunan gas-gas polutan dengan berkurangnya jumlah transportasi di jalanan.
Meski demikian, nanopartikel PM 2.5 dinilai masih konsisten di atas batas tidak sehat jika mengacu pada standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Di sisi lain, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan standar Indonesia berbeda untuk menyesuaikan dengan alam setempat.
Emisi karbon dioksida dunia tercatat mengalami penurunan akibat karantina Covid-19 yang diterapkan diberbagai negara. Hal itu tertuang dalam sebuah analisis pertama mengenai sebaran emisi karbon dunia tahun ini, menurut pernyataan dari Organisasi peduli lingkungan Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) yang diterima BBC News Indonesia.
Analisis yang diterbitkan pada 19 Mei dalam Nature Climate Change itu mencatat penurunan hingga 17% di bulan April jika dibandingkan tahun lalu. Secara global, puncak penurunan itu terjadi pada 7 April.
Baca Juga: Cerita Foto Senyuman dan Kegetiran Tim Medis Virus Corona
Hampir setengah (43%) dari penurunan emisi global selama puncak lockdown berasal dari transportasi, seperti perjalanan mobil.
CREA juga menambahkan bahwa di Indonesia, penurunan emisi maksimum mencapai 18,2 persen.
Langit makin cerah karena karantina Covid-19: 'Senyuman di langit', nikmati fenomena di malam hari Virus corona: WHO sebut polusi udara berpotensi pengaruhi risiko kematian akibat Covid-19 Polusi udara kota ternyata tidak cuma berdampak pada pernapasan
Langit yang lebih bersih menjadi perhatian beberapa warga ibu kota dan sekitarnya selama PSBB, yang dimulai sejak awal April dan kini diperpanjang hingga 4 Juni.
"Yang pasti sih langit lebih cerah kelihatannya, lebih nggak abu-abu, lebih banyak birunya," kata Meita Win, seorang wirausahawan makanan yang berdomisili di Jakarta Utara, kepada BBC News Indonesia.
Baca Juga: Bahagia Lebaran Bareng Suami, Penampilan Vanessa Angel Bikin Salfok
Hal serupa juga dikatakan Fajar Anugrah Putra, seorang warga Tangerang Selatan, Banten.
Jalanan sepi, langit bersih
Fajar adalah seorang karyawan swasta yang berkantor di Kuningan, Jakarta Selatan. Seperti sebagian banyak karyawan ibu kota, ia menjalankan pekerjaan dari rumah, atau work from home (WFH) sejak Maret lalu.
Pria berusia 37 tahun itu memerhatikan kualitas udara melalui sebuah aplikasi handphone untuk wilayah tempat tinggalnya dan Jakarta.
"Memang kalau semenjak Maret dan April itu kan, ketika orang sudah banyak yang di rumah, artinya tidak lagi keluar menggunakan kendaraan pribadi, itu kan sempat turun indeks polusi, terus langit juga sempat beberapa minggu itu bersih banget," kata Fajar kepada BBC News Indonesia.
"Jadi kelihatannya memang kendaraan pribadi itu yang paling signifikan menyumbang polusi di Jakarta, kalau kita melihat indikasi visual sama skor indeks polusi," tambahnya.
Menurut pengamatan studi oleh organisasi peduli lingkungan Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA), tingkat gas Nitrogen Dioksida (NO2) di Jakarta turun sekitar 40% dari level gas tersebut pada tahun lalu.
Hal itu tercatat selama masa bekerja dari rumah yang mulai diberlakukan sejak pertengan Maret yang kemudian disusul PSBB di bulan April dalam upaya menekan penyebaran Covid-19.
Namun demikian, studi itu juga mencatat sebaran PM 2.5, atau partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron, pada periode itu masih konsisten.
Menurut CREA, kondisi ini mengonfirmasi lebih jauh penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa kualitas udara ambien Jakarta sangat dipengaruhi oleh polutan yang berasal dari wilayah tetangga, terutama dari pembangkit listrik dengan batu bara.
Organisasi itu memberi contoh bahwa di provinsi Banten, di mana terdapat pembangkit listrik Suralaya, sebaran NO2 tetap tinggi.
CREA mengungkap bahwa pada 12 April, arah massa udara dengan PM 2.5 yang tinggi mengarah ke Jakarta terdeteksi melalui stasiun pemantau kualitas udara milik Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa polusi udara perkotaan merupakan akumulasi dari berbagai sumber. Mulai dari kendaraan dan lalu lintas, kegiatan industri, hingga pembangkit listrik tenaga batubara yang sangat berpolusi," kata Analis CREA Isabella Suarez dalam sebuah pernyataan yang diterima BBC News Indonesia.
"Sederhananya, mengendalikan tingkat polusi dari semua sumber ini sama dengan lebih sedikit polusi yang dihirup. Pada akhirnya, lebih sedikit polusi berarti paru-paru lebih sehat dan lebih sedikit tekanan pada layanan kesehatan di masa kritis ini," tambahnya.
Menurut CREA, rata-rata setiap tahun sebanyak 38.000 orang Indonesia diperkirakan meninggal karena infeksi pernafasan bagian bawah. Sekitar 3.000 hingga 6.000 dari angka kematian tersebut dapat dihindari dengan udara yang lebih bersih.
Sementara, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga memperingatkan tingkat polusi udara yang tinggi dapat menjadi salah satu faktor risiko dalam kasus fatal Covid-19.
Standar tingkat PM 2.5 yang berbeda
Greenpeace mengungkap bahwa standar baku mutu udara nasional dan milik Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berbeda, sehingga hal ini berimplikasi pada perbandingan penafsiran data.
Juru Bicara Bidang Iklim dan Energi Greenpeace Bondan Andriyanu mengatakan pihaknya juga mengkompilasi data dari alat deteksi PM 2.5 milik Kedutaan Besar Amerika Serikat dari tahun 2016.
Melalui alat itu, Bondan menjelaskan bahwa dibandingkan dari tahun-tahun sebelumnya dalam periode Januari hingga Mei, jumlah hari sehat justru semakin sedikit.
"Ternyata sejak Januari, memang kalau kita compare (bandingkan) dengan standar nasional, untuk PM 2.5 itu dimana baku mutu udara ambien nya standarnya adalah 65 mikrogram per meter cubic untuk rata-rata hariannya. Bandingkan dengan WHO, WHO rata-rata standar hariannya adalah 25 mikrogram per meter kubik.
Ketika ditarik grafiknya, itu hampir dari Januari sampai Mei itu, rata-rata, hampir 90 persen itu angkanya di atar 25. Tapi kalau kita bandingkan dengan standar nasional, semuanya di bawah," kata Bondan kepada BBC News Indonesia.
Pengaturan baku mutu udara ambien nasional tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 41/1999, yang menyatakan standar PM 2.5 pada 65 ug/Nm3 per hari.
Sementara, rekomendasi WHO berada pada level 25 ug/Nm3 per hari.
Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Dasrul Chaniago, mengatakan klasifikan standar udara sehat memang berbeda di Indonesia karena merujuk pada alam setempat.
"PM 2.5 berasal dari berbagai sumber yang mengeluarkan emisi, termasuk debu-debu yang beterbangan tentunya. Namanya juga debu, kan. Nah, berbeda kita negara tropis, jangan pakai standar Amerika kalau disini," kata Dasrul kepada BBC News Indonesia.
Lebih lagi, ia menjelaskan bahwa tingkat PM 2.5 yang berada di udara juga dipengaruhi oleh musim. Pemantauan akan lebih tepat jika diteliti secara tahunan, bukan dalam masa periode terbatas, seperti PSBB.
"Saya tidak membandingkan PSBB karena udara itu dipengaruhi oleh 1. Arah angin, 2. Kecepatan angin, 3. Bentang alam, 4. Sumber emisi. Jadi melihatnya nggak bisa satu. PSBB itu hanya satu, yang saya bilang sumber emisi tadi," tuturnya.
Dasrul juga menjelaskan tingkat PM 2.5 juga dipengaruhi arah angin musim, yakni angin Timur dan Barat.
"Sekarang masuk angin timur. Jadi angin timur ini akan naik itu partikel debu itu. Jadi kalaupun PSBBnya efektif, partikel debu yang dikirm dari sumber-sumber lain seluruh dunia itu naik di Jakarta, di Jabodetabek itu dia naik, di Pulau Jawa itu dia naik, bahkan sampai ke pulau Mataram pun itu pun naik nanti itu.
"Nggak se-sederhana itu bicaranya. Itu pasti naik. Jadi, kurvanya Jakarta itu dia cembung - Januari rendah, nanti terus naik, nanti September turun lagi, di puncaknya Juli-Agustus," kata Dasrul.
Ia mengatakan untuk polutan jenis PM 2.5 di Jakarta, hingga pertengahan Mei, mengalami penurunan sebesar tujuh persen dibandingkan tahun lalu di periode yang sama.
Bagaimana dengan kondisi di Asia Tenggara?
Pantauan CREA yang menggunakan data satelit TROPOMI-Sentinel-5P melihat kota-kota besar di wilayah sekitar Indonesia, seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam, yang juga mencatat penurunan level NO2 di atmosfer selama periode tertentu per negara pada periode pemberlakukan karantina hingga awal Mei.
Di kota-kota besar seperti Bangkok, Kuala Lumpur dan Manila, tingkat gas Nitrogen Dioksida (NO2) berkurang akibat penurunan transportasi dan manufaktur. Level gas NO2 di Kuala Lumpur, Malaysia menurun sekitar 60 persen dibanding tahun 2019.
CREA menilai transportasi, produksi dan konsumsi bahan bakar fosil, serta manufaktur tetap menjadi penghalang untuk mendapatkan kualitas udara yang lebih baik. Organisasi itu menperingatkan pentingnya perbaikan infrastruktur transportasi masal di Asia Tenggara demi menekan peningkatan jumlah kendaraan pribadi di jalan.
Dengan kondisi seperti sekarang, CREA mengatakan ketika beberapa negara sudah melonggarkan pemberlakukan lockdown, kualitas udara berbahaya - baik pada tingkat lokal maupun mencakup wilayah Asia Tenggara - kemungkinan akan kembali.
Hal itu dikarenakan masih banyak negara-negara di kawasan ini yang sangat bergantung pada industri penyebab pencemaran udara dan juga bahan bakar fosil.