Suara.com - Dari kejauhan, seorang perempuan berkerudung biru dongker, memakai masker melambaikan tangan. Rupanya dia sudah tahu ciri-ciri saya. Ya, saya sengaja bertemu Rustinah untuk mengetahui nasib para pekerja rumah tangga (PRT) di masa pendemi ini.
Setelah berdiri di ujung gang, Rustinah lalu menghampiri saya. Kemudian saya diajak menuju Sekretariat Sedap Malam, kolektif pekerja domestik yang berbasis di Jalan Tebet Barat, Gang Trijaya IV Nomor 64, RT 013 RW 007.
Melalui Lita Anggraeni, Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), saya mendapat nomor ponsel Diyana. Kata Lita, sebagian anggota Sedap Malam ada yang dirumahkan buntut pandemi corona yang mewabah di Tanah Air.
Sekretariat Sedap Malam tidak besar. Ukurannya hanya berkisar dua meter kali tiga meter. Namun, bagi para anggota Sedap Malam, ruangan itu kerap melahirkan harapan besar, gagasan besar, dan keberanian besar untuk melawan ketidakpastian dalam hidup.
Baca Juga: Sehari Mau Lebaran, Pasien Positif Corona RI Melesat Jadi 21.745 Kasus
Di ruangan itu, Diyana mulai bercerita. Sedap Malam adalah sebuah organisasi pekerja domestik. Organisasi ini berdiri sejak September 2015 silam. Tentu ada alasan di balik kata Sedap Malam, yang mereka pilih sebagai nama organisasi. Sedap Malam adalah salah satu jenis bunga. Sesuai namanya, bunga itu punya bau yang sedap.
Meminjam penggambaran khalayak luas, bunga Sedap Malam bisa mekar di malam hari. Ada juga yang bilang kalau bunga itu eksotis, manis, dan juga magis.
Kata Diyana, kata Sedap Malam dipilih untuk melawan citra miring dari sebagian kelas yang acapkali melabeli para pekerja domestik. Identik dengan bau keringat karena bekerja mengurus urusan domestik sang majikan.
"Sedap Malam itu artinya kalau PRT kan identik dengab bau keringat karena kerjaannya. Nah sedap malam kan wangi, harum. Ya nama itu untuk mengubah citra tersebut," kata Diyana membuka obrolan.
Dirumahkan
Baca Juga: Tanpa Masker dan Acuhkan Jaga Jarak, Warga di Jember Salat Ied Duluan
Rustinah, sejak akhir bulan Maret sudah mulai dirumahkan oleh majikannya. Sehari-hari, ibu tiga anak ini bekerja di kawasan Kompleks Tebet Barat VI, Jakarta Selatan, tepatnya di belakang Universitas Sahid, tak jauh dari Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU).
Pada akhir Maret lalu, sang majikan merumahkan Rustina seiring masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kini masih berjalan. Pemerintah Pusat serta sejumlah Pemerintah Provinsi, salah satunya DKI Jakarta beralasan jika kebijakan tersebut adalah cara ampuh untuk mengatasi pandemi ini --simpelnya, mengurai penyebaran virusnya saja.
Rustinah bercerita, sang majikan memilih merumahkan dia karena satu hal. Alasannya, tetangga majikannya ada yang meninggal dunia diduga karena terpapar virus corona.
Tetangga sang majikan merupakan seorang sopir yang biasa mengantar peralatan medis -- mulai dari obat-obatan hingga alat pelindung diri (APD). Dari kejadian itu, majikan Rustinah mulai khawatir. Pasalnya orang-orang yang tinggal di rumah sang majikan adalah orang berusia lanjut.
"Tiga rumah dari rumah bos saya itu rumah seorang sopir yang membawa obat-obatan, peralatan medis. Dia meninggal, jadi majikan saya takut. Dia kan keluarga lansia," beber Rustinah di Sektretariat Sedap Malam, Jumat (22/5/2020) menjelang siang.
Rustinah mengatakan, sang majikan sempat menjanjikan akan memakai jasanya saat situasi sudah benar-benar normal. Hingga kini, warta baik buat dirinya tak kunjung datang.
"Kata majikan saya "nanti mbak gak usah telepon atau apapun. Kalau keadaan sudah membaik, saya kontak lagi". Nah itu jangka waktunya sampai kapan kan saya juga enggak tahu," ungkap Rustinah.
Kata paling pas untuk mengambarkan janji, bagi Rustinah adalah 'melulu'. Rustinah mengatakan, sang majikan sempat menjanjikan akan memakai jasanya saat situasi sudah benar-benar normal. Hingga kini, warta baik buat dirinya tak kunjung datang. Rustinah cuma menunggu sambil mengucap melulu.
"Kata majikan saya "nanti mbak gak usah telepon atau apapun. Kalau keadaan sudah membaik, saya kontak lagi". Nah itu jangka waktunya sampai kapan kan saya juga enggak tahu. Nunggu mulu jadinya," ungkap Rustinah.
Nasib serupa juga dialamai oleh Siswati (31), ibu dua anak asal Grobogan, Jawa Tengah. Dia dirumahkan oleh sang majikan sejak awal bulan April 2020.
Kata Siswati, sang majikan punya beberapa alasan untuk merumahkannya hinga waktu yang belum bisa ditentukan. Pertama, majikannya ingin patuh terhadap masa PSBB. Kedua, majikannya menjanjikan akan kembali memakai jasanya setelah keadaan sudah normal. Rasanya itu bukanlah janji-- melainkan ketidakpastian.
"Semenjak PSBB langsung awal April itu majikan bilang saya mau ikutin peraturan PSBB dulu. Kata dia, 'Mbak, nanti kalau sudah normal saya panggil lagi ya'. Dia bilang begitu," ujar Siswati.
Janji, bagi Rustinah dan Siswati, makin membikin keduanya masygul. Tidak ada kepastian untuk kembali bekerja membikin keduanya dilanda pusing hebat akibat memikirkan dunia yang banal ini.
Siswati misalnya, dia sudah menunggak sewa kontrakan selama tiga bulan. Pesangon terakhir dari majikannya sudah dia pakai untuk membayar tagihan listrik dan kebutuhan sehari-hari. Beruntung, sang pemilik kontrakan memberi Yantini keringanan untuk sewa kontrakan.
"Semenjak ndak kerja ini sampai nunggak saya tiga bulan, belum bisa bayar kontrakan. Karena sisa uang sudah buat buat bayar listrik sama kebutuhan anak. Jadi kontrakan ndak kebayar. Alhamdulillah yang punya pengertian," tutur Siswati.
Rustinah rupanya lebih pusing ketimbang Siswati. Suaminya yang bekerja di salah satu gerai makanan di Mal Kota Kasablanka (Kokas) juga dirumahkan sejak awal Februari.
Rustina mengatakan, sang suami dirumahkan tanpa diberi pesangon. Praktis dalam jangka waktu Februari hingga pertengahan Maret, suaminya menganggur, seperti dirinya.
"Suami saya juga dirumahkan belum lama ini. Suami saya kerja di gerai makanan di Mal Kota Kasablanka situ. Kan selama januari dan Februari gak ada pelanggan, jadi tutup alias bangkrut. Nah selama dua bulan suami saya nganggur. Tanpa apapun ya kaya pesangon gitu," beber Rustinah.
Memasuki pertengahan Maret, harapan mampir bagi keluarga Rustinah. Sang suami mulai kembali bekerja di gerai makanan di kawasan Semanggi, Jakarta Selatan. Namun, baru 10 hari bekerja, suaminya kembali dirumahkan akibat kebijakan PSBB.
"Pertengahan Maret, suami saya mulai cari kerjaan baru. Masuk dapat di kawasan belakang Semanggi, nah baru masuk 10 hari masuk masa PSBB. Mulai dirumahkan awal April," sambungnya.
Karena hal itu, suami Rustinah tidak mendapatkan gaji secara utuh. Suaminya cuma dibayar 10 hari bekerja --nominalnya tidak dia sebutkan, tentunya sangatlah kecil.
"Karena masuk belum genap sebulan jadi gak dapat apa-apa. Hanya sisa gaji saja. Kecuali karyawan yang sudah kerja setahun ke atas, mereka dapat gaji pokok 50 persen," beber Rustinah.
Kangen Kampung karena Dilarang Mudik
Pandemi virus corona rupanya membikin manusia harus mencari 'sebagian yang lain' untuk menggangikan 'sebagian yang hilang'.
Pemerintah telah resmi menerbitkan larangan mudik sebagai usaha mengurai penyebaran virus Covid-19. Rupaya, Diayana lebih beruntung ketimbang Rustinah dan Siswati. Diyana tidak dirumahkan oleh majikannya. Diyana cuma diliburkan karena PSBB. Singkatnya, dia masih gajian tiap bulan. Tapi unjuk gaji bulan ini, hanya dibayar separuhnya.
Pasalnya, Diyana hanya bekerja satu kali dalam seminggu di apartemen milik majikannya. Selain itu, Diyana juga mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) secara utuh. Perlu diketahui, dia bekerja pada seorang majikan yang tinggal Apartemen di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan.
"Meski sudah libur, saya masih dapat gaji. Kalau bulan Mei ini saya cuma dapat separuh. Karena mungkin sudah kelamaan libur ya. Saya kan kerja sekali dalam seminggu untuk THR, Alhamdulillah saya dapat full," ungkap Diyana.
Sebelum pemerintah menerbitkan larangan mudik, Diyana sebenarnya sudah sempat berkunjung ke Kabupaten Tegal. Kampung halamannya. Dia sempat bertemu dan melepas kangen dengan sanak saudaranya. Doi masih bisa mudik saat itu lantaran pemerintah belum melarang mudik.
"Saya kan terakhir kerja pertengahan Maret. Nah kebetulan saya awal Maret sudah pulang kampung sebelum ada larangan dari pemerintah," ungkapnya.
Saat kembali ke Ibu Kota, Diyana harus menghadapi kenyataan baru. Pemerintah Provonsi DKI Jakarta telah menerapkan PSBB terhitung sejak 10 April 2020. Selain itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menerbitkan larangan mudik pada 24 April 2020 lalu.
"Pas saya sampai ke Jakarta pemerintah sudah menerbitkan PSBB, makanya saya sampai belum ketemu sama bos. Cuma saya memang kerja hanya seminggu sekali," sambung Diyana.
Diayana mengatakan, setiap tahun dia pasti pulang kampung untuk merayakan Lebaran bersama sanak saudaranya. Tetapi, tahun ini tidak. Pasalnya pemerintah sudah menerbitkan larangan mudik terhadap seluruh masyarakat Indonesia.
"Saya baru pertama nih lebaran ndak mudik. Biasanya saya selalu pulang kampung seminggu sebelum lebaran," ujar Diyana.
Diyana mengaku bingung untuk merayakan lebaran di Ibu Kota. Kebiasan-kebiasan di kampung halaman --salat id berjamaah atau masak-masak-- tidak bisa dia terapkan di Jakarta.
Lebih miris lagi, Diyana harus merayakan lebaran di Jakarta dalam kondisi pandemi virus corona. Dia bingung, mau bersalaman dengan siapa, karena keluarganya rata-rata berdomisili di Kabupaten Tegal.
"Lebaran di sini bikin saya bingung. Karena masak buat keluarga sendiri, nerima tamu juga ndak. Sekalinya merayakan Lebaran di Jakarta situasinya begini. Lagi pandemi, mau salam-salam atau ndak, saya juga ndak tahu," sambungnya sambil tertawa.
Rustinah punya makna sendiri soal lebaran. Dia memang tidak mudik, sebab dia lahir dan besar di Ibu Kota.
Hanya saja, suasana lebaran pada saat masa pandemi corona nanti juga membikin kepala Rustinah pusing. Alasannya satu, dia dan suaminya kini sudah tidak lagi bekerja alias dirumahkan.
Untuk itu, Rustinah hanya mengandalkan bantuan dari adik-adiknya. Meski demikian, Rustinah akan tetap merayakan dengan hati gembira meski kenyataan sebenarnya sangatlah getir.
"Beda banget pokoknya. THR dari adik-adik saya saja lah. Mau gimana pun saya akan tetap merayakan hari raya walau Covid gini. Yang penting tetap merayakan lebaran dengan hati gembira walaupun kenyataannya susah," beber Rustinah.
Merawat Hidup Kolektif
Berorganisasi bagi Rustinah Cs sebagai sesama pekerja domestik sangatlah penting. Bagi Rustinah, sebagai pekerja domestik, berorganisasi sangat penting. Hidup berkolektif dengan sesama rekan seprofesinya seperti merasa hidup sepenanggungan. Sebagai pekerja, Rustinah punya nilai tawar terhadap majikannya.
"Kalau menurut saya harus. Nomor satu harus berorganisasi. Kan banyak hal yang kami dapat. Kami punya nilai tawar sama majikan. Kami bisa nego sama majikan soal gaji dan lain-lain," ungkapnya.
Rustinah mengatakan, gaji bulanan pekerja domestik di Ibu Kota jauh dari kata 'sesuai UMR --Upah Minumum Regional. Angkanya sangat jauh. Upah Rustinah di majikannya yang terakhir cuma Rp1,5 juta sebulan --dengan proses negosiasi. Menurutnya, hampir sebagian besar upah para pekerja domestik di bawah UMR. Alasannya cuma diukur dari segi pekerjaannya.
"Jauh sekali di bawah UMR. Mana ada sih majikan yang mau kasih angka UMR. Karena diukur dari segi pekerjaan mungkin, jadi kalau UMR rasanya kebesaran. Itulah anggapan para majikan. Saya sebelum kerja di majikan yang terakhir, gaji saya 1,5 juta, itu juga pakai negosiasi," kata dia.
Diyana juga menemukan manfaat sejak dia aktif berorganisasi. Banyak ilmu yang bisa dia pelajari. Berkat bantuan salah satu founding, dia sempat studi banding ke Korea Selatan terkait kehidupan pekerja domestik di sana.
"Kalau menurut saya berorganisasi itu penting. Karena itu, dari organisasi pengalaman saya bertambah. Saya juga pernah ke Korea Selatan juga, dari salah satu founding kan mengadakan studi banding sama PRT yang ada di Korea. Tapi bukan PRT WNI, tapi PRT Korea di sana," ujar Diyana.
Menurutnya, pekerja domestik di Negeri Gingseng upahnya menyesuaikan besar rumah si majikan. Jika seorang pekerja doemstik bekerja pada majikan yang memunyai ukuran rumah besar, maka akan semakin besar upahnya.
"Kalau PRT di sana sesuai dengan wilayah bekerjanya menurut lebar rumah majikannya. Nanti gajinya menyesuaikan dengan besar rumah majikan. Kalau di sini kan beda, mau sebesar apa rumahnya gaji tetap kecil, di bawah UMR," sambungnya.
Meski demikian, kendala dalam berorganisasi turut dirasakan oleh kolektif Sedap Malam. Kekinian, anggota aktif Sedap Malam cuma 10 orang. Sebelumnya, anggot Sedap Malam lebih banyak dari angka tersebut. Waktu senggang yang jarang dimiliki oleh para pekerja domestik menjadi jawabannya. Sebagian besar dari mereka lebih memilih mengurus keluarga ketimbang berorgsnisasi.
"Hingga kini yang bertahan hanya 10 orang. Pekerjaan mereka (yang sudah tidak aktif) banyak. Libur kadang hanya hari minggu saja, jadi mereka memilih beristirahat di rumah," ucap dia.
Kendala lainnya adalah macetnya iuran bulanan. Hal tersebut dikhawatirkan akan memberatkan organisasi secara finansial. Padahal, iuran adalah satu cara agar organisasi bisa tetap berjalan. Diyana mengatakan, banyak anggota yang masih keberatan bayar iuran. Padahal, setiap bulan hanya Rp 10 ribu.
"Kemudian iuran, itu yang kadang masing-masing anggota merasa berat. Banyak alasannya," papar Diyana.
Misalnya seperti masa berat sekarang ini. Uang kas dari iuran tiap bulan bisa dipakai membantu anggota yang dirumahkan akibat pandemi ini.
"Padahal iuran kan untuk menghidupi organisasi, misal ada musibah dari uang iuran bisa kami gunakan. Misalnya kaya sekarang, ada kawan-kawan yang dirumahkan. Dari uang iuran bisa kami pakai bantu kawan-kawan. Dari kami untuk kami sendiri," tambahnya.
Epilog
Jakarta adalah keramaian. Jakarta adalah kesibukan. Jakarta adalah kenyataan yang terus berjalan. Jakarta tetap memancarkan bau tak sedap akibat kemacetan, kepadatan, hingga ketidakpastian. Pandemi corona memberi ketidakpastian bagi para pekerja domestik.
Diyana mewakili kawan-kawannya, berharap, dalam masa pandemi ini, pemerintah lebih memperhatikan nasib pekerja domestik. Pasalnya, pekerjaan ini penuh dengan ketidakpastian, sangat rentan. Artinya, kapan pun waktunya, mereka bisa saja kehilangan pekerjaannya.
"Kami berharap pemerintah bisa melihat kami. Jangan anggap kami sebelah mata karena pekerjaan kami sangat rentan. Kapan saja, kami bisa diberhentikan," kata Diyana.