Kendala lainnya adalah macetnya iuran bulanan. Hal tersebut dikhawatirkan akan memberatkan organisasi secara finansial. Padahal, iuran adalah satu cara agar organisasi bisa tetap berjalan. Diyana mengatakan, banyak anggota yang masih keberatan bayar iuran. Padahal, setiap bulan hanya Rp 10 ribu.
"Kemudian iuran, itu yang kadang masing-masing anggota merasa berat. Banyak alasannya," papar Diyana.
Misalnya seperti masa berat sekarang ini. Uang kas dari iuran tiap bulan bisa dipakai membantu anggota yang dirumahkan akibat pandemi ini.
"Padahal iuran kan untuk menghidupi organisasi, misal ada musibah dari uang iuran bisa kami gunakan. Misalnya kaya sekarang, ada kawan-kawan yang dirumahkan. Dari uang iuran bisa kami pakai bantu kawan-kawan. Dari kami untuk kami sendiri," tambahnya.
Baca Juga: Sehari Mau Lebaran, Pasien Positif Corona RI Melesat Jadi 21.745 Kasus
Epilog
Jakarta adalah keramaian. Jakarta adalah kesibukan. Jakarta adalah kenyataan yang terus berjalan. Jakarta tetap memancarkan bau tak sedap akibat kemacetan, kepadatan, hingga ketidakpastian. Pandemi corona memberi ketidakpastian bagi para pekerja domestik.
Diyana mewakili kawan-kawannya, berharap, dalam masa pandemi ini, pemerintah lebih memperhatikan nasib pekerja domestik. Pasalnya, pekerjaan ini penuh dengan ketidakpastian, sangat rentan. Artinya, kapan pun waktunya, mereka bisa saja kehilangan pekerjaannya.
"Kami berharap pemerintah bisa melihat kami. Jangan anggap kami sebelah mata karena pekerjaan kami sangat rentan. Kapan saja, kami bisa diberhentikan," kata Diyana.
Baca Juga: Tanpa Masker dan Acuhkan Jaga Jarak, Warga di Jember Salat Ied Duluan