Tak Perlu Lihat Hilal, Pesantren di Jember Ini Gelar Idul Fitri Lebih Awal

Sabtu, 23 Mei 2020 | 13:49 WIB
Tak Perlu Lihat Hilal, Pesantren di Jember Ini Gelar Idul Fitri Lebih Awal
Ilustrasi salat jamaah (Unsplash / matin firouzabadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Perayaan hari raya Idul Fitri di Desa Suger Kidul, Jember, Jawa Timur dilakukan lebih awal. Sebagian masyarakat dan santri Pondok Pesantren Mahfilud Duror melaksanakan salat Id pada hari Sabtu (23/5/2020).

Meski pemerintah menetapkan bahwa Idul Fitri atau 1 Syawal jatuh pada Minggu (24/5/2020), namun tak mengurungkan niat sebagian masyarakat ini untuk tetap menggelar salat Id sehari lebih awal.

Menyadur dari Jatimnet.com --jaringan Suara.com, pelaksanaan salat Idul Fitri di lingkungan pesantren ini memang hampir selalu dilakukan satu hari lebih awal dari ketetapan pemerintah.

"Sejak tahun 1991 Masehi, ketika kakek saya mendirikan pesantren ini," kata KH Ali Wafa, pengasuh Pondok Pesantren Mahfilud Duror kepada Jatimnet.com, Sabtu (23/5/2020).

Baca Juga: Pengantar Jenazah Buat Nisan: Indonesia bin Terserah, Kami Tunggu di TPU

Kiai Ali Wafa menceritakan bahwa proses penetapan awal puasa dan hari raya di pesantren ini diinisiasi oleh sang kakek KH Muhammad Sholeh.

Penetapan ini dilakukan dengan menggunakan metodologi yang mengacu pada sebuah kitab klasik berbahasa Arab yang lazim disebut kitab kuning berjudul Nazhatul Majalis.

Penghitungannya berdasarkan tanggal, bukan dengan melihat bulan atau hilal seperti yang dilakukan oleh pemerintah.

"Dasarnya dari kitab Nazhatul Majalis, yang ditulis oleh Syaikh Abdurrohman as-Sufuri as-Syafii. Kitab ini diajarkan oleh guru kakek saya, yakni KH Abdul Hamid Itsbat, dari Banyuanyar Madura," kata KH Ali Wafa.

Di dalam kitab tersebut, seorang imam terkemuka keturunan Nabi yaitu Ja'far Shodiq menyatakan bahwa lima hari dari awal Ramadan yang pertama akan menjadi awal Ramadan pada tahun berikutnya.

Baca Juga: Ada 35 Kasus Positif Covid-19 di Gunungkidul, Terbanyak Klaster Gadungsari

"Tahun lalu, kita mengawali Ramadan pada hari Minggu, sehingga tahun ini mundur menjadi hari Kamis. Kemudian puasa Ramadan saya genapkan 30 hari sehingga 1 Syawah jatuh pada hari ini," jelas KH Ali Wafa.

Ia menyebutkan bahwa kitab tersebut tak hanya digunakan di pesantrennya saja, namun juga digunakan di beberapa tempat untuk menetapkan awal bulan Ramadan dan Syawal.

"Tetapi saya tidak tahu di mana saja," ujar Kiai yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Bata-Bata, Madura ini.

Meski demikian, diakui Kiai Ali Wafa bahwa pelaksanaan Idul Fitri di lingkungan pesantren ini tak selamanya berbeda dengan ketetapan pemerintah. Beberapa kali sebelumnya, penetapan Syawal di pesantren ini sempat sama dengan yang diumumkan pemerintah.

Warga desa sekitar pesantren pun tak ambil pusing dengan perbedaan penetapan hari raya ini.

"“Masyarakat malah menginginkan selalu berbeda setiap tahun. Mereka malah bilang, kalau bisa jangan sampai sama. Karena dengan berbeda (dua hari raya), penghasilan bisa dua kali,” ujar KH Ali Wafa berkelakar. Ia kemudian menjelaskan bahwa permintaan warga itu tak bisa dituruti karena mereka tak bisa asal menetapkan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI