"Saya hanya menjual sayuran sekarang, saya tidak ingin kembali ke pelacuran. Tetapi situasi menjadi sangat sulit dan saya akan mengerti jika ada diantara mereka ada yang akan kembali," ujarnya.
Sementara itu, feminis dan kelompok perempuan sendiri memiliki pendapat yang berbeda mengenai hal ini jauh sebelum krisis.
Satu kelompok memandang pelacuran sebagai masalah ekonomi yang harus diatasi dan dihilangkan. Lainnya mengakui dipaksa terjerumus ke dalamnya. Ada juga orang yang menganggap kerja seks sebagai bisnis yang sah, yang melayani pasar yang ada di masyarakat mana pun.
Direktur eksekutif CATW-AP Jean Enriquez, menolak gagasan seks sebagai pekerjaan, ia mendesak pemerintah untuk merencanakan hal ini lebih baik dan segera memobilisasi sumber daya.
Baca Juga: 5 Artis Dikira Jalani Praktik Prostitusi, Ada yang Ditawar Rp 600 Juta
"Para wanita ini membutuhkan pekerjaan reguler dan layak. Janganlah kita menormalkan pelecehan. Tidak ada seorang pun yang mau digunakan setiap hari," kata Enriquez.
Advokat pekerja seks, Mara Quesada mengakui Filipina mungkin tidak siap untuk legalisasi kerja seks, tapi jika hal ini dilegalkan, pekerja seks memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan tunai dari pemerintah.
Tetapi ada juga perempuan dan laki-laki yang ingin diakui dan dilindungi untuk jenis pekerjaan yang telah mereka pilih. "Ada orang-orang yang merasa bahwa mereka tidak perlu diselamatkan dan mereka ingin pengakuan atas pekerjaan mereka," kata Quesada.
"Sehingga akan diatur dan akan ada lingkungan yang aman bagi mereka dan mereka dapat melaporkan mereka yang berkuasa, seperti polisi, yang menyalahgunakan mereka," tutupnya.
Baca Juga: Kawasan Prostitusi Gang Sadar Banyumas Lockdown, Sepi Pelanggan