Suara.com - PBB pada Kamis (21/5/2020) membantah tuduhan Amerika Serikat bahwa badan dunia tersebut memanfaatkan pandemi COVID-19 sebagai peluang untuk mempromosikan akses menuju aborsi melalui respons kemanusiaan terhadap wabah global mematikan tersebut.
PBB sedang mengupayakan rencana penanganan COVID-19 senilai 6,7 miliar dolar AS (sekitar Rp99,59 triliun).
PBB sejauh ini telah menerima satu miliar dolar AS (sekitar Rp14,86 triliun), yang sebanyak 172,9 juta dolar AS (sekitar Rp2,57 triliun) di antara didapat dari Amerika Serikat.
Data Reuters menunjukkan COVID-19 telah menginfeksi sekitar lima juta orang dan menyebabkan hampir 327.000 kematian di seluruh dunia.
Baca Juga: Awas! Nanti Malam Satpol PP DKI Kerahkan Pasukan Besar-besaran
"Tuduhan apa pun bahwa kami sedang memanfaatkan pandemi COVID-19 sebagai peluang untuk mempromosikan aborsi tidak benar," kata juru bicara PBB, Stephane Dujarric.
"Saat kami mendukung layanan kesehatan, yang mencegah jutaan perempuan meninggal selama kehamilan dan persalinan dan melindungi masyarakat dari infeksi seksual menular, termasuk HIV, kami tidak berusaha mengesampingkan hukum nasional," katanya.
Dalam surat kepada Sekjen PBB Antonio Guterres pada Senin, penjabat Administrator USAID John Barsa mengatakan rencana badan dunia, yang diumumkan dua bulan lalu, menjadikan layanan kesehatan seksual dan reproduktif sama pentingnya dengan kerawanan pangan, layanan kesehatan esensial, gizi buruk, tempat tinggal dan sanitasi.
Washington telah lama menganggap "layanan kesehatan seksual dan reproduksi" sebagai kode aborsi.
"PBB seharusnya tidak memanfaatkan krisis ini sebagai peluang untuk mendorong akses aborsi sebagai 'layanan esensial'," tulis Barsa.
Baca Juga: Dukung Martinez ke Barcelona, Stoichkov: Dia akan Banyak Belajar di Sana
Ia menambahkan bahwa "hal paling mengerikan" dari rencana tersebut adalah "menyerukan distribusi yang luas soal obat-obatan yang memicu aborsi dan persediaan aborsi, serta promosi aborsi."