Narasumber kami adalah warga Lumajang, Jawa Timur. Seusai tamat SMA, ia mendapatkan informasi bekerja sebagai ABK kapal ikan di luar negeri.
Gratis, tidak ada biaya apapun yang perlu dikeluarkan bahkan mendapat bayaran dengan dollar Amerika. Ia pun tertarik, dan mendapatkan kontak pihak MTB.
Tamatan SMK ini tiba di Tegal pada 15 Agustus tahun lalu. Ia tinggal di penampungan para pencari kerja dari seluruh Indonesia yang disediakan MTB. Di angkatannya terdapat 20 orang.
Melewati beberapa hari dengan berdiam diri, akhirnya ia dan temannya pergi ke Cirebon untuk mengikuti pelatihan dasar keselamatan dan mendapatkan buku pelaut.
Baca Juga: Pemerintah Diminta Tegas pada Pelarungan Jenazah ABK di Laut Somalia
Kemudian mereka kembali ke penampungan tersebut, menunggu lebih dari satu bulan. Aktivitas mereka hanya makan dan tidur, tidak ada pelatihan dasar perikanan.
"Lalu buat paspor dua hari, tes kesehatan dan langsung berangkat ke Singapura. Dari PT aku ada 20 orang, banyak juga dari PT yang lain. Ada ratusan anak yang berangkat ke Singapura," katanya kepada wartawan BBC News Indonesia Raja Eben Lumbanrau, Selasa (19/05).
Ia dan empat WNI lainnya menuju laut di kawasan Timur Tengah untuk menangkap ikan pada September 2019.
"Kami kepala dipukul, ditendang, disiksa. Tidur paling mentok Cuma 3-4 jam.
"Teman kami ada yang sakit, dan tidak dirawat tapi masih disuruh kerja akhirnya meninggal. Lalu disimpan di freezer (tempat pendingin ikan) selama satu bulan. Setelah itu dibuang ke tengah laut.
Baca Juga: Terminal Giwangan Terima Kedatangan 115 WNI Repatriasi, Kebanyakan ABK
Indonesia minta China selidiki dan desak perusahaan kapal penuhi tanggung jawab pada ABK Indonesia Aktivitas pariwisata Indonesia diprediksi melonjak setelah pembatasan sosial, 'Saya tidak mau mati konyol karena jalan-jalan' Covid-19: Gejala, penyebaran, cara penanganan, pengobatan dan penyembuhan