Suara.com - Presiden Amerika Serikat Donald Trump, lewat mitra bisnisnya, Hary Tanoesoedibjo dikabarkan menggusur kuburan di Ciletuh Hilir, Bogor, demi membangun megaproyek.
Menyadur Washington Post, Trump Organization bekerja sama dengan MNC Group—perusahaan milik Harry Tanoesoedibjo—dalam penggarapan resor mewah dan lapangan golf bernama Lido Lake Resort.
Rencananya, properti seluas 600 hektar milik Trump Organization itu akan disulap menjadi lapangan golf 18-lubang, hotel dengan 120 kamar dan 461 vila mewah.
Lewat MNC Land—anak perusahaan MNC Group—proyek milik Donald Trump itu dilaporkan menimbulkan kontroversi. Relokasi warga dan mayat di pemakaman dikatakan tak sesuai prosedur.
Baca Juga: Selain Hangat di Perut, Ini 7 Manfaat Jahe untuk Kesehatan
Kepala desa Djaja Mulyana, telah membuat katalog yang berisikan bukti bahwa pembangunan di lokasi Ciletuh Hilir merugikan masyarakat.
Sambil menunjukkan isi binder berwarna biru, Mulyana menganggap telah terjadi penipuan, janji yang putus, dan warga akan kehilangan mata pencaharian dari pembangunan tersebut.
Pembangunan Kontroversial, Berselisih dengan Masyarakat Ciletuh Hilir
Semua bermula saat pertengahan bulan Ramadan, Juli 2014 silam. Saat itu, pihak MNC mengumpulkan warga untuk membicarakan rencana pembangunan resor di kawasan Ciletuh Hilir.
Dalam acara yang dibarengi buka puasa bersama itu, MNC menjanjikan kepada Djaja Mulyana dan warganya bahwa pembangunan ini akan menyedot banyak tenaga kerja di desa tersebut.
Baca Juga: Jika Corona Berakhir, Indro Warkop Mau Nyekar ke Makam Dono dan Kasino
"Mereka memberi kami harapan," kata Mulyana, kepada Washington Post, dikutip Suara.com, Selasa (19/5/2020).
Namun, dalam beberapa bulan ke depan, keraguan mulai muncul. Alih-alih mendapat pekerjaan, Mulyana dan warga lainnya justru harus meratapi kekecewaan.
Para surveyor dan prospektor datang menjamah desa-desa tetangga—yang sering disebut sebagai Wates Jaya, bagian Kabupaten Bogor.
Padahal, setahu Mulyana, pihak desa belum memberikan izin kepada MNC untuk bisa memulai pekerjaan. Dia juga belum melihat surat perjanjian terkait hal itu.
Mulyana mendapati surat yang ditandatangani pada 2014 oleh pejabat Wates Jaya--yuridiksi lokal yang mencakup Ciletuh Hilir.
Dokumen itu mengatakan bahwa penduduk di daerah itu "Tidak keberatan dan menyetujui permintaan izin situs."
Lusinan tanda tangan dari formulir kehadiran yang digunakan selama pertemuan Ramadhan dengan perwakilan MNC, termasuk Mulyana, ditambahkan ke surat itu.
"Saya sangat marah saat itu," kata Mulyana, yang mengatakan bahwa tanda tangannya telah disalahgunakan untuk menyarankan persetujuan pembangunan.
Para pekerja yang diboyong pihak MNC juga bukan dari masyarakat setempat. Orang luar lah yang pada akhirnya dipekerjakan.
Sebagai respons, penduduk desa memprotes kesewenang-wenangan yang dilakukan perusahaan. Mereka mengklaim desa dan kuburan itu merupakan hak turun-temurun masyarakat.
Bahkan, penduduk menyebutkan bahwa kuburan yang mereka tinggali sudah ada sejak tahun 1834, alias sebelum Belanda angkat kaki dan Indonesia resmi merdeka pada 1945.
“Saya milik tradisi, budaya yang tidak bisa saya tinggalkan begitu saja,” kata Firmansyah, seorang warga berusia 34 tahun.
“Adalah keyakinan kami bahwa tanah itu milik leluhur kami sebagai sebuah komunitas."
"Saya mungkin generasi ketujuh... dan kuburan telah ada sejak sebelum kemerdekaan. Itulah yang ingin saya lindungi, alasan saya menolak. Itu nilai historisnya."
MNC Land mengatakan bahwa beberapa warga Ciletuh Hilir telah menerima proposal perusahan untuk memindahkan kuburan kerabat mereka.
Orang-orang yang menolak proposal dituding perusahaan hanya ingin menakan harga jual tanah.
"Sisa kerabat mereka "ke lokasi kuburan baru yang kami sediakan, yang lebih sesuai," kata perwakilan MNC Land.
"MNC bahkan bersedia menanggung seluruh biaya pemindahan kuburan."
Berbagai penolakan yang ada, pada akhirnya tak diindahkan perusahaan. Proyek terus berjalan di mana konstruksi mulai dibangun, bahkan di wilayah yang amat dekat dengan desa.
“Karena pekerjaan konstruksi dimulai di lokasi dan sejalan dengan peraturan keselamatan kerja, pagar harus dibangun di sepanjang batas antara area proyek MNC dan Kampung Ciletuh Hilir, di mana orang-orang masih [memiliki] akses ke dan keluar dari Kampung,” kata perusahaan itu.
Setelah MNC membeli tanah pada tahun 2013, penduduk Ciletuh Hilir dan desa-desa sekitar masih diberikan kesempatan oleh perusahaan untuk menanam dan bertani.
Namun, pada 2017, izin tersebut dihentikan. Para petani diusir dan sawah yang ditanaminya harus tergusur tanpa adanya uang pengganti atau kompensasi.
"MNC memiliki perjanjian yang menyatakan bahwa 'Jika MNC sewaktu-waktu membutuhkan tanah, maka penduduk desa harus mengosongkan tanah tersebut tanpa kompensasi dari MNC', "kata pernyataan perusahaan.
"MNC telah meminta penduduk desa untuk mengosongkan lahan berdasarkan perjanjian, karena kami berencana untuk mulai mengembangkan daerah tersebut sebagai pusat hiburan (proyek non-Trump)."
MNC mengklaim pengembangan itu memberi peluang bagi warga desa untuk mendapat pekerjaan.
Mereka menyebut telah mempekerjakan lebih dari 300 orang sebagai pekerja konstruksi dan penjaga keamanan.
Banyak warga di Ciletuh Hilir yang menuding pihak MNC meminta masyarakat yang menjadi karyawannya untuk menjual rumah mereka dengan harga murah. Namun, tudingan itu tak ditanggapi MNC.
“Mereka ingin memperoleh tanah kami dengan syarat: dengan membayar harga terendah, menggunakan intimidasi dan banyak lagi,” kata Firmansyah.
“Dan ini termasuk tanah yang telah ditanami oleh masyarakat setempat - kami tidak diizinkan menggunakannya lagi. Itulah salah satu cara yang digunakan perusahaan untuk membunuh ekonomi di kampung kami."
Konfrontasi aparat yang memilukan
Sudah lewat dua tahun sejak perwakilan MNC mendekati warga Ciletuh Hilir dan menawarkan untuk membayar mereka agar bisa memndahkan sisa-sisa dari kuburan yang berada di sekitaran rimbunan pohon.
Beberapa warga dikabarkan setuju untuk menandatangani perjanjian terkait proses pemindahaan mayat.
Namun, dalam praktiknya, pihak perusahaan menggunakan konfrontasi dan tak jarang kekerasan dari aparat untuk memuluskan ambisinya.
Para penggali kubur sewaan perusahaan menggali mayat dengan ketelitian yang menimbulkan pertanyaan. Warga kala itu sempat mendapati kuburan kerabat seorang warga bernama Heri turut digali secara tak sengaja.
Firmansyah yang menjadi saksi saat itu, menyebut warga langsung bergegas ke ambulan dan mengeluarkan empat kantong mayat untuk kembali dikubur di pemakaman Ciletuh Hilir.
Peristiwa itu membuat warga miris, mengingat tradisi islam setempat terkait penguburan itu memiliki kesakralan tersendiri.
Ahli waris, atau ahli waris utama, disebut harus menangani tugas apa pun yang terkait dengan kuburan, bukan pekerja konstruksi yang didukung militer.
"Saya tidak bisa mengatakan campuran emosi yang kami rasakan saat itu. Kami kesal, marah, semua terbungkus menjadi satu," kenang Firmansyah.
"Rasanya seperti itu adalah akhir dunia bagi saya," tambahnya.
Dua mayat lain yang digali pada hari itu adalah milik saudara perempuan - Susanti Binti Caing dan Ade Holisah Binti Caing - yang telah meninggal pada tahun 1985 dan 1988. Ibu mereka, Iyum, tidak ada di sana ketika tentara datang.
"Saya tidak tahu apa-apa tentang hal itu sampai setelah mereka digali. Saya terkejut. Saya menangis," kata Iyum.
"Menurut mereka siapa anak-anakku - anjing?" ujarnya kesal.
“Saya ingin anak-anak saya di sini. Di mana mereka seharusnya."
Protes warga
Iyum dan Heri sempat mengadu ke polisi terkait penggalian paksa makam kerabat mereka.
Mereka diantar pengacara setempat dalam mengajukan laporan ke kepolisian Bogor setelah tiga minggu kuburan di gali.
Kendati demikian, laporan yang diperoleh The Post menyebut "Kedua mayat belum dikembalikan ke kuburan mereka," demikian bunyi tulisan itu.
Kontroversi di pemakaman dengan cepat memicu protes kemarahan. Pada 13 Februari, penduduk desa berkumpul di luar kantor polisi Bogor.
Sembilan hari kemudian, sebuah kelompok dari desa memprotes di depan Dewan Perwakilan Rakyat dan istana kepresidenan di Jakarta.
Dalam surat kepada Hary Tanoesoedibjo dan Presiden Joko Widodo pada bulan-bulan berikutnya, pengacara yang mewakili desa mengatakan bahwa penduduk mengalami tekanan traumatis dan psikologis yang dalam dari tindakan MNC dan pasukan keamanan Indonesia.
”Penolakan warga tidak diperhatikan,” bacakan surat itu kepada Tanoesoedibjo, tertanggal 3 April 2019.
“Sampai-sampai terjadi pertengkaran fisik, dan para petugas terus melakukan perusakan pemakaman dengan paksa dan tanpa menghormati hak asasi manusia," tulis laporan Washington Post.
Pengacara yang mewakili penduduk desa telah mengeluarkan tiga panggilan pengadilan ke MNC Land antara Desember 2019 dan Februari 2020 untuk membahas badan yang rusak dan hilangnya desa atas tanah pertaniannya.
Tetapi kelompok hukum kecil itu ragu-ragu untuk meningkatkan situasi di pengadilan karena menyadari sumber daya perusahaan jauh lebih unggul dari mereka.
"MNC memiliki banyak orang kuat di pihak mereka," kata Anggi Triana Ismail, salah satu pengacara yang mewakili desa.
MNC sendiri mengatakan bahwa tak ada tuntutam hukum yang ditujukan kepada perusahaan akibat dari pengaduan warga.
"Mereka tidak memiliki dasar yang kuat untuk mengajukan gugatan," kata perusahaan.
Trump Organization Enggan Dilibatkan
Pihak Donald Trump, atau lebih tepatnya Trump Organization yang dijalankan kedua anaknya itu enggan dilibatkan atau dikait-kaitkan dengan persoalan itu.
Mereka berargumen bahwa pengembangan taman hiburan dan resor mewah itu adalah kerjasama bisnis di mana MNC murni sebagai perusahaan pengembang.
"Kami telah diberitahu bahwa ini bukan bagian atau bagian dari perkembangan Trump," kata seorang pejabat Trump Organization dalam sebuah pernyataan.
"Hubungan kami dengan MNC murni terdiri dari perizinan dan perjanjian manajemen saja, kami bukan pengembang."
Trump Organization enggan menanggapi terkait kontroversi dalam pembebasan tanah di Ciletuh Hilir. Mereka bungkam saat ditanya apakah mengetahui praktik pengembangan yang dilakukan MNC.
Seorang mantan pejabat MNC mengatakan bahwa perusahaan Donald Trump itu sejatinya tahu apa yang terjadi. Pasalnya, setiap bulan mereka meminta pembaharuan informasi terkait mega proyek tersebut.
"Mereka ingin tahu apa yang terjadi setiap bulan. Mereka ingin tahu standarnya. Mereka ingin tahu siapa yang akan menjadi konstruktor, siapa yang akan menjadi bankir, tidak berbeda dengan Hyatt atau Marriott," kata mantan pejabat itu, yang berbicara dengan syarat anonimitas untuk menjaga hubungan di industri.