Transpuan Terdiskriminasi saat Wabah Corona: Mereka Raba Payudara Saya

Reza Gunadha Suara.Com
Senin, 18 Mei 2020 | 19:52 WIB
Transpuan Terdiskriminasi saat Wabah Corona: Mereka Raba Payudara Saya
[BBC]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Lockdown di Panama diberlakukan dengan ketat, dengan laki-laki diizinkan keluar satu hari dan perempuan di hari berikutnya. Tetapi kebijakan ini telah digunakan oleh beberapa orang sebagai alasan untuk melecehkan sejumlah transpuan.

Monica dapat memasak dengan baik. Seperti banyak orang, selama lockdown dia telah membuat makanan-makanan yang rumit untuk mengalihkan perhatiannya selama karantina.

Pada suatu hari Rabu di bulan lalu, Monica berencana membuat ayam berbumbu dengan saus tomat pedas dan nasi.

Dia sudah memiliki sebagian besar bahan, tetapi membutuhkan ayam.

Baca Juga: Ferdian Paleka Ditahan, ICJR Desak Polisi Bantu Pemulihan Transpuan

Jadi dia meninggalkan rumahnya di dekat bandara Panama City yang dia tinggali bersama keluarga besarnya untuk pergi ke toko.

Dia melewati sekelompok perempuan dalam perjalanan, beberapa dari mereka berjalan dengan anak-anak mereka.

Hari itu lebih tenang daripada biasanya karena pemerintah baru saja memperkenalkan langkah baru untuk menghentikan penyebaran virus corona, yang memungkinkan perempuan meninggalkan rumah untuk berbelanja pada hari Senin, Rabu dan Jumat, dan laki-laki pada hari Selasa, Kamis dan Sabtu.

Pada hari Minggu, setiap orang harus tinggal di rumah.

Monica berjalan ke toko itu.

Baca Juga: 5 Fakta Terungkap Usai Penangkapan Ferdian Paleka Pelaku Prank Transpuan

Dia mengenal keluarga beretnis China yang memiliki toko itu dengan baik. Mereka mengaguminya.

Tapi saat dia masuk, suasananya berubah. Pemilik toko mendekatinya diam-diam, wajahnya tidak menyunggingkan senyum, yang biasa dilihatnya.

"Kami tidak bisa melayanimu, Monica," katanya. "Polisi mengatakan kami hanya bisa melayani perempuan hari ini. Mereka berkata, 'Bukan maricon.'"

Maricon adalah istilah transfobia, yang bermakna menghina, dan itu membuat Monica bergidik, tetapi pada saat yang sama, itu tidak mengejutkan.

Polisi di lingkungannya telah menargetkan dia sebelumnya karena ia adalah transpuan.

Monica mulai pergi ke sekolah dengan berpakaian seperti anak perempuan sejak usia 12 tahun. Dia tidak pernah merasa seperti anak laki-laki, dan sekarang dia ingin terbuka tentang identitasnya.

Berpenampilan seperti perempuan tidak akan berdampak pada keluarganya - yang kehidupannya sudah cukup sulit.

"Ayahku lelaki macho," kata Monica. "Dia tidak membutuhkan alasan untuk memukuli saya, dua saudara perempuan saya, atau ibu kami."

Monica berangsur-angsur mulai mengatur rambutnya seperti seorang perempuan dan mengenakan pakaian yang lebih pas di badannya.

Di sekolah dia diejek karena penampilannya yang feminin, jadi dia selalu menjaga dirinya sendiri. Setidaknya saudara perempuan dan ibunya selalu mencintainya.

Kemudian, ketika dia berusia 14 tahun, ayahnya meninggal secara tak terduga dan keluarganya kehilangan satu-satunya sumber penghasilan mereka.

Monica merasa dia harus membantu keluarga. Dia mendengar bahwa ada permintaan untuk pekerja seks transgender di Panama City dan uang yang dihasilkan lumayan.

Monica, masih anak-anak saat itu, memutuskan bahwa itu akan menjadi cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Di toko yang menjual bahan makanan, pemilik toko meminta maaf dan menjelaskan kepada Monica bahwa itu bukan keinginannya untuk memintanya pergi. Permintaan itu datang langsung dari polisi.

Meski pekerjaan seks di Panama legal, itu tidak berarti tanpa stigma, dan Monica mengatakan polisi di lingkungan telah mengejeknya selama bertahun-tahun. Mereka meneriakkan kata-kata homofobia dan transfobia ketika ia pergi bekerja.

Pada usia 38, dia sudah mengalami hinaan itu selama 24 tahun.

"Banyak orang trans bekerja sebagai pekerja seks di kota ini," kata Monica. "Apakah ini pilihan pertama kami? Tidak, tapi ini biasa dan itu artinya saya bisa mengurus keluarga saya."

Sejak lockdown dimulai, pekerjaan terhenti, dan keuangannya semakin sulit.

Delapan anggota keluarga berbagi rumah. Kedua saudara perempuannya memiliki anak, totalnya sebanyak empat orang.

Kedua saudara perempuannya itu lajang, yang satu baru-baru ini meninggalkan hubungan yang dipenuhi kekerasan, dan yang satunya tidak bekerja. Begitu juga ibu Monica.

Setibanya di rumah, telepon Monica dipenuhi pesan WhatsApp.

Pesan itu datang dari penjaga toko.

Dia berkata merasa tidak enak karena sudah menyuruh Monica pulang dengan tangan kosong.

Dia mengatakan Monica tidak perlu mengirim saudara perempuannya untuk membeli ayam karena dia yang akan mengantarkannya sendiri.

Monica tersenyum. Kebaikan komunitasnya akan membantunya selama lockdown.

Tapi dia tidak mau bergantung pada pertolongan seperti itu selama pandemi. Dia ingin terus mengurus keluarganya.

Dia membuat keputusan untuk pergi keesokan harinya - hari pria, hari seks biologisnya.

Tapi kali ini pengalamannya bahkan lebih buruk.

Dia memutuskan untuk pergi ke supermarket yang lebih besar untuk mendapatkan semua persediaan yang mereka butuhkan selama beberapa minggu.

Ketika dia tiba, dia mengantre untuk masuk, tapi antrean itu panjang sekali.

Di bawah aturan lockdown Panama, setiap orang diizinkan keluar tiga hari per minggu, tetapi bahkan pada hari-hari itu mereka hanya dapat meninggalkan rumah selama dua jam, tergantung pada kode pos mereka.

Monica menunggu dalam antrian laki-laki, yang menyeringai ketika mereka melihatnya.

Waktu terus berjalan. Kemudian dua jam berlalu.

Hampir pada saat itu, enam petugas polisi mendekati Monica.

"Mereka memberi tahu saya bahwa saya berada di luar batas waktu untuk pergi ke toko," katanya. "Mereka mulai melakukan pengecekan tubuh saya. Salah satu dari mereka meremas payudara saya, sambil tertawa, 'Kamu bukan perempuan,' dan mengucapkan kata-kata hinaan."

Semua orang memalingkan muka dan tidak melakukan apa pun.

Monica tidak pernah merasa lebih sendirian.

"Hari-hari gender di Panama berarti komunitas trans terkutuk jika mereka memanfaatkannya, dan terkutuk jika tidak," kata Cristian González Cabrera dari Human Rights Watch.

Asosiasi Rakyat Trans Panama mengatakan bahwa sejak masa gender dimulai, lebih dari 40 orang telah menghubungi mereka untuk melaporkan bahwa mereka telah dilecehkan ketika pergi ke supermarket atau membeli obat.

Pada awal Mei, pihak berwenang di ibukota Kolombia, Bogota, memutuskan untuk mencabut pembatasan berbasis gender, setelah kelompok LGBT mengatakan hari-hari itu mendiskriminasi kelompok trans.

Menyusul surat terbuka oleh Human Rights Watch kepada kepresidenan Panama, mengutip penganiayaan terhadap orang-orang trans oleh kepolisian Panama, Kementerian Keamanan Publik Panama mengeluarkan sebuah pernyataan minggu ini yang mengatakan bahwa mereka "telah memerintahkan pasukan keamanan untuk menghindari segala bentuk diskriminasi terhadap kelompok LGBT "selama lockdown.

"Ini adalah langkah yang harus dipuji," kata Cristian González Cabrera. Namun, ia mengatakan tidak jelas apa artinya "menghindari diskriminasi" - dan kapan tepatnya kelompok trans diperbolehkan keluar rumah.

"Kami berurusan dengan populasi yang terpinggirkan secara historis di negara ini dan pernyataan itu tidak cukup jelas."

Monica tidak yakin dia bisa mempercayai jaminan kementerian.

Dia pergi ke bank setelah pernyataan itu dirilis - pada hari di mana perempuan diizinkan meninggalkan rumah - dan seorang petugas polisi mendekatinya.

"Saya akan pulang jika saya jadi kamu," katanya. "Saya mengatakan ini karena saya peduli, tetapi kamu tidak seharusnya keluar hari ini."

BBC meminta Kementerian Keamanan Publik Panama untuk berkomentar, tetapi mereka tidak menanggapi.

"Saya tidak tahu harus bagaimana. Kapan saya bisa keluar?" Monica bertanya. "Saya tidak berusaha membodohi siapa pun. Saya hanya ingin bisa mengurus keluarga saya."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI