Ngeri! Pria Ini Diperkosa Istri Selama 10 Tahun, Dicakar hingga Ditonjok

Bangun Santoso Suara.Com
Senin, 18 Mei 2020 | 11:37 WIB
Ngeri! Pria Ini Diperkosa Istri Selama 10 Tahun, Dicakar hingga Ditonjok
Ilustrasi korban kekerasan seksual, kdrt. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mayoritas kekerasan rumah tangga dilaporkan oleh perempuan. Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sepertiga perempuan dan anak perempuan di dunia mengalami kekerasan seksual atau fisik di masa hidupnya. Kekerasan terhadap pasangan atau anggota keluarga laki-laki tidak banyak terjadi dan juga jarang dibicarakan.

Kekerasan domestik terhadap pria dipandang tabu di banyak negara, dan korbannya sering kali harus menghadapinya sendiri.

Seorang pria dari Ukraina, yang tak mau menyebutkan namanya, berbagi ceritanya kepada BBC. Ini adalah kisahnya, dan saran dari ahli tentang bagaimana mengenali tanda-tanda dan bagaimana menghadapi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Laki-laki korban KDRT: 'Ia kuasai uang saya, ia yang tentukan kapan saya bisa makan' 'Lockdown' membuat saya terkurung di rumah dengan orang yang menyiksa saya Tiga anak perempuan bunuh ayah mereka karena KDRT Kisah perempuan yang dipotong tangannya dan perlawanan terhadap KDRT di Rusia Cinta pertama saya

Baca Juga: WHO: Jika Lockdown sampai 6 Bulan, Akan Memicu 31 Juta Kasus KDRT

Saya tidak tahu apakah teman-teman saya curiga. Semuanya terlihat baik-baik saja dari luar: kami sering tersenyum, punya banyak teman, banyak uang, bahagia, dan kami percaya diri. Kami bepergian bersama ke setengah bagian dunia.

Saya tidak takut dengannya ketika kami bepergian, dia tidak akan menyakiti saya di hadapan orang lain. Yang paling saya hindari adalah ketika saya bersamanya sendiri.

Baru belakangan ini saya sadar bahwa mantan istri saya telah memperkosa saya selama 10 tahun.

Ira adalah cinta pertama saya. Kami bertemu ketika kami masih berusia awal 20-an tahun. Dia yang pertama kali mengajak saya kencan. Orang tua saya mengatakan saya harus keluar rumah secepatnya jika saya mulai pacaran. Dengan kata lain, berpasangan dengan orang lain berarti saya harus melepas keluarga dan rumah yang menaungi saya.

Dalam satu hari saya kehilangan semuanya. Momen itu menakutkan bagi saya. Jadi saya baru bisa pacaran ketika saya punya cukup tabungan untuk berpisah dengan keluarga.

Baca Juga: Selama Lockdown, Kasus KDRT di Rusia Naik Dua Kali Lipat

Kepercayaan diri yang rendah

Di samping itu, ibu saya malu dengan penampilan saya. Saya dulu punya kepercayaan diri yang rendah.

Pengalaman seksual pertama saya adalah dengan Ira, dan saat itu, saya memang ingin melakukannya. Namun itu tidaklah normal: rasanya sakit dan agresif. Hubungan seksual pertama kami berlangsung sekitar lima jam, dan saya merasa sakit setelahnya.

Dia sepertinya punya tujuan tersendiri, bahwa setiap hubungan seksual harus berakhir dengan sperma. Ia akan terus membantu saya sampai saya selesai, biasanya berlangsung satu sampai dua jam.

Seks harusnya menyenangkan, tapi tidak untuk saya. Saya tidak berpengalaman dan saya dulu menganggap bahwa seks adalah seperti itu, jadi saya selalu mengiyakan.

Namun dalam waktu singkat saya bilang "tidak." Itu tidak menghentikannya, dan saat itulah hubungan seks kami berubah menjadi perkosaan.

Saya terjebak

Saya harus pergi ke luar negeri untuk perjalanan bisnis dalam waktu lama. Saya takut kehilangan Ira, jadi saya mengajaknya. Saya bahkan mengajaknya menikah. Ia menolak, tapi ia tetap ikut saya. Itulah awalnya.

Saya capek setelah bekerja dan ingin istirahat, tapi ia mulai menuntut untuk berhubungan seks. Saya menyetujuinya satu kali, dua kali... Ia lalu berkata, "Saya ingin, saya butuh, jadi kamu harus, ayolah, saya sudah menunggu lama." Saya menjawabnya, "Tidak, saya tidak ingin melakukannya, saya ingin istirahat, saya capek."

Ia lalu memukul saya dan saya tidak bisa berbuat apa-apa. Ia mencakar saya sampai saya berdarah, ia juga menonjok saya. Ia tidak akan menonjok muka saya, hanya bagian yang tertutup seperti dada, punggung, dan tangan saya.

Saya tidak melawan karena menurut saya memukul perempuan adalah tindakan yang agresif dan salah. Begitulah saya dididik orang tua. Saya merasa kecil, lemah, dan terjebak. Ia akan mendapat apa yang ia mau dan ia biasanya berada di posisi atas.

Satu waktu, saya mencoba menyewa kamar untuk saya sendiri di hotel. Tapi saya tidak bisa bahasa setempat, jadi resepsionis hotel tidak mengerti saya. Saya pun terjebak bersamanya. Saya takut kembali ke hotel setelah saya kerja, jadi saya biasanya jalan-jalan di mall sampai tutup.

Setelah itu saya jalan-jalan sekeliling kota. Saat itu musim gugur, jadi cuaca dingin dan basah, dan saya tidak membawa baju hangat. Saya pun terkena infeksi saluran kemih, prostatitis, dan demam. Tapi hal itu tidak menghalangi Ira, saya harus melakukan apa yang dia mau.

Akhir pekan adalah saat yang paling parah. Saya diperkosa Sabtu pagi dan Minggu malam. Saya menghitung hari sampai saya bisa kembali ke Ukraina. Saya pikir dengan kembali ke sana kami akan putus--tapi saya salah.

'Saya mencoba kabur tapi saya menyerah'

Saya lalu kembali ke rumah orang tua saya dan tidak berencana menghubungi Ira, apalagi tinggal dengannya. Tapi upaya saya untuk menghindari Ira berlarut sampai bertahun-tahun.

Kami sering bertengkar, dan saya mematikan telepon dan memblokirnya di platform manapun. Saya biasanya sembunyi tapi ia akan mendatangi saya dan duduk di sisi lain pintu. Ia menelpon saya dan berjanji bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Saya pun selalu kembali ke Ira, setiap saat. Saya sangat takut sendiri.

Pada awalnya, saya sering mencoba untuk putus dengannya, tapi lama-kelamaan saya menyerah. Ia berkeras kita menikah, dan kami pun menikah meskipun saya tidak mau.

Ira cemburu dengan siapa saja: teman-teman saya, keluarga saya. Ke manapun saya pergi saya harus menelponnya.

"Kenapa saya menghadiri konferensi itu?" "Kenapa saya bertemu teman ini?" Saya harus bersamanya, dalam genggamannya. Ia tidak bisa pergi ke mana-mana tanpa saya--saya semacam sumber hiburan baginya.

Ira tidak bekerja. Saya yang bekerja, masak, dan bersih-bersih. Kami menyewa apartemen besar dengan dua kamar mandi. Saya dilarang memakai kamar mandi utama dan harus memakai kamar mandi tamu. Setiap pagi saya harus menunggu sampai ia bangun tidur pukul sembilan atau sepuluh pagi, kalau tidak saya akan mengganggunya.

Ia memutuskan kalau kami harus tidur di kamar yang berbeda, di mana kamar saya tidak ada kuncinya, jadi saya tidak bisa sendiri.

Kalau saya berbuat 'salah', ia akan berteriak dan memukul saya. Ini terjadi sekali sehari atau setiap dua hari sekali. Apapun yang terjadi, dia selalu menyalahkan saya. Ia terus berkata pria macam apa yang ia butuhkan dan apa yang seharusnya pria itu lakukan. Saya tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya melakukan apapun yang dimintanya untuk menghindari kemarahannya--dan ini yang terjadi berikutnya.

Saya ingat turun tangga dan duduk di mobil, menangis. Ia berjalan dan melihat saya. Ketika saya pulang ke rumah, ia mengatakan ia sangat menyesal, tapi ia tidak bisa berhenti. Jadi semuanya akan terulang di hari berikutnya. Apapun yang saya lakukan, dan apapun yang saya rasakan, tidak ada yang berubah.

Saya juga tidak sempurna. Untuk menghindari semua ini, saya biasa bekerja selama 10, 12, 14 jam sehari, pada akhir pekan atau liburan. Pilihannya mudah bagi saya--beberapa orang memilih minum, saya memilih bekerja.

Kenapa korban kekerasan tidak meninggalkan pelaku?

•Orang yang tumbuh di keluarga yang mengalami kekerasan mengulangi perilaku orang tuanya di keluarga mereka sendiri.

•Korban takut isolasi dan stereotipe: "Apa yang akan tetangga katakan?" "Seorang anak harus tumbuh bersama kedua orang tuanya."

•Tahapan pertama, kekerasan psikologi, sulit dikenali. Oleh karenanya, korban secara perlahan terbiasa dan kehilangan kemampuan untuk menganalisasi situasi dan bertindak.

•Korban kekerasan tidak punya tujuan lain, keuangannya bergantung pada pelaku, atau berada di posisi yang rentan (seperti hamil atau anaknya masih kecil.)

•Saat meminta tolong pada petugas yang berwenang, mereka menjawab "Ini masalah keluarga" dan menyerah.

Demikian menurut Alyona Kryvuliak, kepala Departemen Hotline Nasional La Strada-Ukraina, dan Olena Kochemyrovska, penasihat untuk Dana Populasi di PBB untuk mencegah dan menangkal kekerasan gender.

'Saya mulai bicara dan tidak bisa berhenti'

Jika Anda berada di situasi seperti itu, Anda tidak sadar apa yang terjadi pada Anda. Anda tidak melihat jalan keluar dan Anda tidak mendengar siapa pun. Anda tidak akan berpikir bahwa Anda bisa melarikan diri, Anda akan putus asa.

Saya melakukan hal-hal yang tidak ingin saya lakukan karena saya sudah terbiasa. Saya selalu 'menjadi milik' orang lain dan tidak pernah ke diri saya sendiri. Saya adalah milik nenek saya, orang tua saya--saya selalu berpikir kita harus mengorbankan semuanya demi mempertahankan sebuah hubungan.

Jadi saya mengorbankan kepentingan dan diri saya, semuanya terlihat normal saat itu. Jadi semuanya menjadi lebih buruk.

Pada awalnya, saya cukup tidak suka, tapi lama-kelamaan, dalam tiga atau empat tahun terakhir hubungan kami, seks akan memicu serangan kepanikan secara konstan.

Saya akan terserang panik setiap Ira mengekang dan memaksa saya. Saat saya panik, saya akan menjauhinya, sembunyi dan lari, jauh dari rumah, atau setidaknya jauh dari kamar.

Ira menganggap masalah seks kami karena saya. Oleh karenanya setiap beberapa tahun sekali ia akan membawa saya ke ahli seks. Setiap saya mengatakan ada beberapa hal yang saya tidak suka, dan saya tidak suka berhubungan seks, saya akan dibilang bahwa sayalah masalahnya. Saya tidak mengatakan apa-apa tentang penyiksaan dan perkosaan yang saya alami.

Untuk Ira, konsultasi ke seksologis seakan membenarkan pemikirannya. Saya baru bicara soal kekerasan yang saya alami beberapa waktu sebelum kami bercerai. Saya tidak berhenti bicara soal itu.

'Saya menemukan dukungan dan jalan keluar'

Saat itu musim gugur, dan saya terbaring di tempat tidur karena sakit bronkitis dan demam setinggi 39-40 derajat Celcius selama dua minggu. Tidak ada yang menengok saya selama itu. Itulah saat saya menyadari bahwa hidup saya tidak ada harganya dan tidak ada yang akan merindukan saya kalau saya meninggal saat itu juga.

Momen itu mencerahkan saya: saya merasa ngeri, jijik, dan kasihan pada diri saya. Saya ingin bilang ke seseorang, tapi saya tidak tahu ke siapa dan bagaimana caranya.

Suatu saat saya pergi ke rumah orang tua saya ketika mereka tidak di rumah, hanya untuk bisa sendiri. Saya sedang menelusuri internet dan melihat sebuah kotak chat yang tiba-tiba muncul. Semuanya serba anonim, seolah-olah kita tidak eksis.

Itulah pertama kalinya saya mengungkap semua yang terjadi pada saya. Saya masih tidak sadar bahwa itu adalah penyiksaan, tapi sejak saat itu saya mulai berani berkata "tidak" lebih sering.

Pertama, soal hal-hal kecil. Penting bagi saya untuk berkata "tidak" daripada diam. Kapanpun saya butuh kekuatan, saya selalu terngiang momen ketika saya sakit.

Akhirnya saya menemukan terapis keluarga yang memberi saya dukungan. Ira dan saya bergiliran bicara kepadanya, dan ia dilarang menginterupsi saya. Itulah ketika saya pertama kali bicara tentang penyiksaan bagi saya. Ia sangat marah, lalu berteriak kepada saya dan menyangkal semuanya.

Ia lalu mengusulkan kita bercerai sesaat sesudahnya. Saya rasa ia sebenarnya tidak ingin bercerai, itu hanyalah upayanya agar saya diam.

Saya tahu kesempatan ini tidak datang dua kali dan saya sepakat bercerai. Di sebuah kantor catatan penduduk kami mengantri, jadi kami cari kantor lainnya. Saya berpikir, saya harus bercerai jika saya punya kesempatan. Kami pun akhirnya bisa bercerai.

Hari paling bahagia dalam hidup saya adalah ketika saya mendapat surat resmi perceraian sebulan kemudian. Beberapa hari setelah bercerai saya berteriak: "Kamu memerkosa saya!" kepada Ira.

"Saya memerkosa kamu? Lalu kenapa?" katanya.

Saya tidak tahu bagaimana menjawabnya, sampai sekarang. Di satu sisi, ia mengakui perbuatannya, tapi ia juga menertawakannya.

Saya pulang ke rumah orang tua saya dan secara perlahan membatasi kontak dengan Ira. Saya keluar dari pekerjaan saya dan tinggal di rumah selama beberapa minggu. Saya takut Ira ada di luar sana, mengamati saya.

Suatu hari Ira datang lagi dan mengetuk pintu rumah, menendangnya dan berteriak. Ibu saya takut. Saya tersenyum dan berkata, "Bu, bisa Anda bayangkan bagaimana saya dulu.."

Peristiwa seperti ini bisa membunuh kita

Saya tidak mengumpulkan bukti dan tidak bercerita ke orang lain. Saya bisa saja cerita ke orang tua saya, tapi sejak saya kecil saya tahu mereka tidak bisa jaga rahasia. Saya juga tidak tahu bagaimana cerita ke teman-teman soal pengalaman saya.

Saya mencari kelompok dukungan, tapi di Ukraina kelompok itu hanya ada untuk perempuan. Akhirnya saya menemukan komunitas online untuk pria dari San Francisco.

Psikoterapis pertama yang saya temui di Ukraina mencemooh saya: "Itu tidak mungkin terjadi--ia perempuan dan kamu laki-laki." Jadi saya berpindah-pindah ke enam spesialis dan akhirnya saya mendapatkan bantuan. Saya baru mengijinkan orang memegang tangan saya delapan bulan kemudian.

Bagaimana laki-laki mendapat bantuan psikologi?

Kelompok dukungan psikologi dapat ditemukan di komunitas Klub Bapak di Ukraina, namun inisiatif itu berusia pendek, kata aktivis Max Levin. Menurutnya, para pria tidak siap berkonsultasi ke psikolog.

Alyona Kryvuliak dari La Strada-Ukraina mengatakan para laki-laki baru menelpon hotline ini ketika tersedia 24 jam. Mereka tidak mau menelpon saat jam kerja biasa.

Bahkan sekarang, para pria masih khawatir identitasnya akan terungkap dan mereka tidak siap membela hak-haknya di institusi publik seperti pengadilan atau lembaga penegak hukum lainnya.

Bagi korban pria, tekanan psikologi akibat kekerasan bisa berkepanjangan, kata psikoterapis Yulia Klymenko. Stigma yang muncul di masyarakat juga tidak membantu karena istilah seperti "boys don't cry" atau "pria tidak boleh menangis" atau "pria lebih kuat secara fisik."

Korban kekerasan fisik, psikologi, dan seksual mungkin banyak ditemukan di masyarakat. Menurut Klymenko, klien-kliennya yang memiliki trauma dari jenis kekerasan apapun perlu ditangani dalam jangka panjang, apapun gender atau usianya.

Saya sempat berpikir membawa kasus ini ke pengadilan. Pengacara bilang ada peluang saya mendapat perintah pengadilan agar ia tidak mendekati saya, atau restraining order. Tapi saya tidak membutuhkannya sekarang. Sudah lama, saya hanya ingin Ira mengakui perbuatannya dan minta maaf.

Saya masih tidak bekerja dan masih sulit bagi saya untuk bangun setiap pagi. Saya tidak punya tujuan hidup. Saya bahkan tidak tahu apa yang sudah saya lakukan setahun belakangan ini.

Saya tahu saya tidak akan berhubungan lagi dengan orang lain dan tidak akan punya anak. Saya sudah menyerah.

Tapi saya sudah diam terlalu lama, dan akhirnya semuanya berantakan! Mungkin ada pria yang mengalami situasi serupa dengan saya sekarang dan ia akan membaca kisah saya ini.

Penting baginya untuk paham: situasi ini tidak akan berakhir, tidak ada yang akan bisa diperbaiki, ini adalah situasi yang tidak akan bisa hilang dan ini bisa membunuh Anda. Jika Anda paham semua ini, maka setidaknya Anda punya peluang bertahan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI