'Saya menemukan dukungan dan jalan keluar'
Saat itu musim gugur, dan saya terbaring di tempat tidur karena sakit bronkitis dan demam setinggi 39-40 derajat Celcius selama dua minggu. Tidak ada yang menengok saya selama itu. Itulah saat saya menyadari bahwa hidup saya tidak ada harganya dan tidak ada yang akan merindukan saya kalau saya meninggal saat itu juga.
Momen itu mencerahkan saya: saya merasa ngeri, jijik, dan kasihan pada diri saya. Saya ingin bilang ke seseorang, tapi saya tidak tahu ke siapa dan bagaimana caranya.
Suatu saat saya pergi ke rumah orang tua saya ketika mereka tidak di rumah, hanya untuk bisa sendiri. Saya sedang menelusuri internet dan melihat sebuah kotak chat yang tiba-tiba muncul. Semuanya serba anonim, seolah-olah kita tidak eksis.
Baca Juga: WHO: Jika Lockdown sampai 6 Bulan, Akan Memicu 31 Juta Kasus KDRT
Itulah pertama kalinya saya mengungkap semua yang terjadi pada saya. Saya masih tidak sadar bahwa itu adalah penyiksaan, tapi sejak saat itu saya mulai berani berkata "tidak" lebih sering.
Pertama, soal hal-hal kecil. Penting bagi saya untuk berkata "tidak" daripada diam. Kapanpun saya butuh kekuatan, saya selalu terngiang momen ketika saya sakit.
Akhirnya saya menemukan terapis keluarga yang memberi saya dukungan. Ira dan saya bergiliran bicara kepadanya, dan ia dilarang menginterupsi saya. Itulah ketika saya pertama kali bicara tentang penyiksaan bagi saya. Ia sangat marah, lalu berteriak kepada saya dan menyangkal semuanya.
Ia lalu mengusulkan kita bercerai sesaat sesudahnya. Saya rasa ia sebenarnya tidak ingin bercerai, itu hanyalah upayanya agar saya diam.
Saya tahu kesempatan ini tidak datang dua kali dan saya sepakat bercerai. Di sebuah kantor catatan penduduk kami mengantri, jadi kami cari kantor lainnya. Saya berpikir, saya harus bercerai jika saya punya kesempatan. Kami pun akhirnya bisa bercerai.
Baca Juga: Selama Lockdown, Kasus KDRT di Rusia Naik Dua Kali Lipat
Hari paling bahagia dalam hidup saya adalah ketika saya mendapat surat resmi perceraian sebulan kemudian. Beberapa hari setelah bercerai saya berteriak: "Kamu memerkosa saya!" kepada Ira.