Suara.com - Pada akhir Februari lalu, Korea Selatan adalah negara yang paling parah terdampak wabah virus corona di luar China. Ribuan kasus positif Covid-19 terkait dengan para anggota sebuah sekte keagamaan di Kota Daegu.
Namun kini, walau terjadi peningkatan kasus akibat klaster di kawasan hiburan Itaewon, Kota Seoul, wabah tersebut tampak masih bisa dikendalikan.
Jumlah kematian akibat Covid-19 di negara berpenduduk 52 juta jiwa itu mencapai 262 orang. Sedangkan di Inggris yang berpenduduk 67 juta jiwa, lebih dari 34.000 orang meninggal dunia.
Lantas apa senjata utama pemerintah Korsel dalam melawan virus corona? Satu kata, datakumpulan informasi luas mengenai pergerakan penduduknya.
Baca Juga: Korea Selatan Bolehkan Setiap Orang Berhubungan Badan Kalau Sudah 16 Tahun
Lebih dari 100 kasus baru Covid-19 muncul terkait kelab malam Seoul, setelah Korsel catat 'penularan lokal nihil' Reaksi 'berlebihan' Vietnam terbukti efektif, tak ada kasus positif Covid-19 dalam satu bulan Penanganan virus corona ala Korea Selatan layak jadi panutan? Apakah kita perlu mengorbankan privasi agar tetap aman selama pandemi Covid-19?Justin Fendos, profesor biologi sel di Universitas Dongseo, Kota Busan, Korsel, mengungkapkan kepada BBC mengenai luasan operasi pelacakan kasus virus corona.
"Mereka mengambil metode [pengumpulan] informasi yang biasanya dipakai aparat penegak hukum untuk menangkap orang-orang yang menghindari pajak atau melacak penjahat. Mereka mengubah cara penggunaannya demi kesehatan masyarakat."
Fendos menjelaskan tiga tipe informasi yang digunakan:
Transaksi kartu kredit dan kartu debit - mereka bisa mempelihatkan di mana saja seseorang berbelanja atau makan, dan bagaimana orang itu bepergian di jaringan transportasi. Riwayat lokasi ponsel dari operator telepon memberikan gambaran lokasi seseorang selagi dia terkoneksi melalui pemancar sinyal ponsel di sekitarnya. Rincian pergerakan yang ditangkap jaringan kamera pemantau Korsel yang luas"Anda tak hanya menemukan kamera di restoran dan kedai kopi, tapi juga di sudut-sudut jalan dan tempat-tempat seperti itu untuk menangkap pelanggar aturan parkir," papar Fendos.
Kumpulan informasi ini dipakai untuk melacak keberadaan seseorang yang tertular serta menelusuri pergerakannya pada hari-hari sebelum dia teruji positif sehingga orang-orang yang mungkin berkontak langsung dengannya bisa diberi tahu.
Baca Juga: Heboh di Korea Selatan, Jasad WNI Anak Buah Kapal China Dibuang ke Laut
"Ini sangat kuat karena informasi ini bisa digunakan untuk memberitahu orang-orang yang berada di sekitar pasien tersebut baru-baru ini, 'Tahukah Anda, Anda mungkin berisiko [tertular] sehingga mungkin Anda perlu menjalani tes'."
Sebagian besar informasi berwujud teks ini juga dapat diakses melalui ponsel dan situs-situs publik . Coba lihat contoh pergerakan kasus 10932 sebagaimana terekam di sini.
Anda dapat melihat orang ini bergerak di antara restoran, kafe, toko, dan kantor pada 7-11 Mei sebelum menerima hasil tes dan dirawat di rumah sakit.
Pelacakan ini kurang mendapat tentangan dari khalayak, sesuatu yang disebut Prof Fendos berakar dari budaya.
"Orang Korea sangat enggan melakukan hal-hal yang dapat melukai orang lain. Pada saat yang sama, mereka begitu enggan bertanggung jawab karena menyebabkan orang lain sakit. Ada pula pemahaman hierarki sehingga rakyat jelata cenderung percaya apa yang diperintahkan pemerintah kepada mereka," paparnya.
PrivasiSepertinya rangkaian metode itu sulit diterima oleh warga negara-negara Barat, seperti Inggris. Bahkan, di negara-negara tersebut tengah berlangsung perdebatan sengit mengenai apakah aplikasi pelacakan kontak yang menyimpan data terpusat memunculkan ancaman besar terhadap privasi.
Namun, spesialis etika data, Stephanie Hare, menekankan bahwa pertanyaan sebaiknya tidak diarahkan mengenai apakah metode-metode itu layak diterima, tetapi apakah metode-metode itu diperlukan.
"Korea Selatan adalah studi kasus yang sangat menarik dan kami ingin mempelajarinya," kata Hare.
"Kita juga harus bertanya kepada diri kita sendiri apakah ada contoh lain yang menunjukkan bahwa masyarakat tidak perlu melakukan itu. Faktanya, ada banyak sehingga kita juga bisa mencermati mereka."
Hare menyebutkan sejumlah negara Skandinavia dan Negara Bagian Kerala di India sebagai contoh tempat yang berhasil menekan virus corona tanpa menginvasi privasi warganya.
Perlu juga diingat bahwa kita mungkin berada pada tahap awal peperangan melawan Covid-19.
Dalam beberapa bulan ke depan, kita akan melihat banyak negara menerapkan teknologi baru dalam bentuk aplikasi pelacakan kontak melalui bluetooth selagi mereka keluar dari lockdown dengan penuh kewaspadaan.
Namun, ada kans bahwa aplikasi pelacakanentah itu tersentralisasi atau terdesentralisasitidak akan terbukti efektif sehingga bisa saja pemerintah-pemerintah mempertimbangkan untuk menerapkan taktik pengawasan massal secara paksa.