"Dua tahun setelah masalah itu selesai, klien kami menagih kesepakatan dalam akta perdamaian itu. Yaitu mengembalikan saham 20 persen dan komitmen fee sebesar Rp 15 juta yang jika ditotal sekitar Rp 30 miliar," jelas Zakir.
Namun, sang pelapor tidak mengembalikan saham sebesar 20 persen dan komitmen fee dengan total Rp 30 miliar. Justru, Suhardi dilaporkan ke polisi dengan tuduhan penggelapan jabatan.
"Tapi bukan dibayarkan malah dilaporkan ke Polisi klien kami dengan tuduhan penggelapan dalam jabatan," beber Zakir.
Zakir menyebut, ada sejumlah laporan dalam kasus ini, yakni pada 2017 dan laporan yang kedua pada 2019.
Baca Juga: Dampingi 7 Aktivis Papua, Komnas HAM akan Kirim Tim ke Polda Kaltim
Pada laporan pertama, objek yang dilaporkan adalah uang sebesar Rp 7,5 miliar dan laporan kedua uang sebesar Rp 2 miliar.
"Angkanya beda, namun pelapor dan terlapornya sama, begitu juga dengan objek laporan nya juga sama di dalam laporan itu. Kemudian klien kami dijadikan tersangka tanpa ada dasar penetapan tersangka yang jelas," ungkap dia.
\Zakir menduga ada oknum Kepolisian yang dinilai membekingi laporan pihak pelapor hingga kliennya ditetapkan sebagai tersangka. Dia juga mendesak Divisi Propam Polri mengusut dugaan tersebut.
"Ini jelas bukan perkara pidana, tetapi kasus perdata dan sudah clear ada perjanjiannya. Kami minta Kepala Divisi Propam Polri mengusut tuntas kasus ini."
Baca Juga: Pertamina Serahkan 3 Barang Bukti Potongan Pipa ke Polda Kaltim