Suara.com - Antartika terputus dari seluruh dunia selama berbulan-bulan - dan tidak ada satu pun kasus virus corona. Jadi mengapa tim peneliti di Antartika mengikuti aturan isolasi untuk memerangi Covid-19 padahal virus corona mungkin bahkan tidak ada di benua itu?
"Kasus Covid-19 di sini bisa menjadi bencana. Jadi kita juga mengambil tindakan karantina wilayah. Rasanya seperti kita terisolasi di dalam isolasi. Mencegah jauh lebih baik daripada mengobati," tutur Pradeep Tomar - seorang dokter medis pada misi penelitian ke pangkalan Bharati India, di Antartika.
Lima bulan lagi, dia menyelesaikan satu tahun masa tugasnya di fasilitas itu.
Dan jika Covid-19 mencapai basis penelitian Antartika, itu bisa sangat menghancurkan. Tidak ada tempat lain untuk pergi, fasilitas medis terbatas - dan kemungkinan penyebarannya ke orang lain akan tinggi.
Baca Juga: Dua Etnis Rohingya Positif Corona, Ribuan Orang Terancam
Pengalaman tinggal di kawasan di Antartika yang belum terjangkau virus corona: 'Kami mengisolasi diri di tempat yang sudah terisolir' Perjalanan ke gletser 'hari kiamat', seperti apa mencairnya Antartika? Di tengah pandemi virus corona, tempat ini membuat kita mengajukan pertanyaan terpenting dalam hidupDan meskipun berada di satu-satunya benua tanpa ada kasus virus corona, fasilitas itu telah menerapkan karantina wilayah sejak Februari lalu.
Siapa pun yang datang ke Antartika sekarang harus dikarantina selama 14 hari.
Dan jika seseorang mulai menunjukkan gejala Covid-19 di Antartika, mereka harus segera diisolasi, bersama dengan siapa pun yang pernah melakukan kontak dengan mereka.
Saat ini ada 29 negara yang memiliki pangkalan di Antartika.
Sebelum karantina dimulai, akan ada kunjungan rutin ke Bharati dari ekspedisi negara lain.
Baca Juga: Jumlah Pasien Positif Corona di Bali Diduga Lebih Banyak dari Data Resmi
Bendera nasional pengunjung akan dikibarkan untuk menandai kedatangan mereka.
Tim yang berbeda akan merayakan hari-hari nasional yang penting bersama. Dan jika salah satu pangkalan membutuhkan peralatan yang tidak harus mereka tangani, mereka akan meminjamnya dari tetangga mereka.
"Tingkat keharmonisan antar bangsa seperti ini tidak terlihat di dunia nyata," kata Dr Tomar.
Tapi dia belum melihat siapa pun dari fasilitas lain sejak awal Maret, ketika kegiatan bersama dihentikan.
Ketika Tomar tiba di Bharati pada 15 November 2019 untuk mempelajari efek psikologis ekspedisi yang dilakukan di kutub terhadap pada penelitinya, dunia hampir sama seperti sebelumnya.
Kini, katanya, ada kecemasan terus-menerus di situs itu, dipicu oleh kurangnya informasi tentang virus corona - dan kekhawatiran terus-menerus akan kondisi keluarga mereka di rumah.
Tomar dan rekan-rekannya hanya memiliki gagasan yang kabur tentang pandemi global yang sedang terjadi dan karantina wilayah yang mengikutinya.
Dia mengandalkan teman dan keluarga untuk perkembangan informasi.
Dia pun berjuang untuk membayangkan konsekuensi dari jaga jarak sosial.
"Teman-teman telah memberi tahu saya bahwa mereka bertahan dalam situasi seperti kita, terisolasi dan terpaku di rumah," katanya.
"Ini di luar imajinasi saya untuk menyadari bahwa orang-orang di seluruh dunia akan keluar dengan masker mereka."
Dengan langkah-langkah karantina di seluruh dunia, perjalanan ke dan dari pangkalan dan lainnya mungkin menjadi sulit.
Dan itu bisa berarti para ilmuwan harus tinggal selama berbulan-bulan lebih lama dari yang mereka harapkan di iklim yang dingin dan tidak ramah.
Terletak di Larsemann Hills dan menghadap ke Samudra Hindia, pangkalan Bharati, yang mulai beroperasi pada 2012, adalah salah satu pos penelitian terjauh di planet ini.
Daratan terdekat adalah Afrika Selatan, lebih dari 5.000 km (3.000 mil) jauhnya. Satu-satunya transportasi adalah dengan kapal - dan hanya beroperasi di musim panas Antartika, antara bulan November dan akhir Maret.
Mereka yang berada di tempat yang tidak ramah seperti itu secara unik menyadari bagaimana orang mengatasi karantina.
Semua orang bekerja dari "rumah" selama mereka tinggal di fasilitas tersebut.
Tidak ada toko. Tidak ada pilihan untuk jalan-jalan santai. Di luar, ancamannya adalah suhu turun hingga -40C.
Semua tim di Bharati menerima pelatihan komprehensif sebelum mereka tiba, untuk belajar bagaimana bertahan secara mental dan fisik di musim dingin Antartika.
Isolasi sosial yang konstan dan kurangnya sinar matahari membuat mereka berisiko mengalami depresi.
Dan di benua yang menghabiskan banyak musim dingin tanpa sinar matahari sama sekali, mempertahankan pola tidur yang teratur bisa sulit.
"Kami mendorong orang untuk mempraktikkan kebersihan tidur yang baik di sini," kata Dr Tomar.
Ketika Tomar tiba, ia waspada akan bahaya lanskap Antartika.
"Ada ancaman yang terus-menerus terhadap kehidupan saat Anda di sini," katanya.
"Lapisan es yang luas penuh dengan celah tersembunyi untuk jatuh ke dalamnya."
Tapi sekarang, dia lebih takut pada orang-orang di rumah. Dunia seperti yang diketahui oleh Tomar bisa berubah tanpa bisa dikenali selama setahun di benua beku.
Sementara ia telah dilatih untuk isolasi sosial, rekan senegaranya di rumah belum.
"Saya benar-benar berharap bisa melayani negara saya pada saat dibutuhkan," katanya.
"Tidak ada yang pernah menyaksikan sesuatu seperti krisis yang sedang berlangsung. Aku berharap bisa melihat dunia yang sama lagi ketika kita pulang."