Menurut Usman, pasca peristiwa G30S PKI atau kudeta angkatan darat kampus Res Publica turut bergejolak. Sampai pada akhirnya, kampus Res Publica diambil alih oleh kekuasaan militer yang ditopang oleh pemerintahan di awal orde baru.
"Semua anak Trisakti yang membaca sejarah pasti mengerti, itu suatu hal yang sangat sulit terlukiskan sebagai hal yang wajar," ujar Usman.
"Jadi kekuatan militer atau orang-orang militer dikerahkan untuk ikut mengambil alih kampus (Res Publica) Trisakti dan sejak itu juga kampus dikelola oleh militer," imbuhnya.
Jejak pengambilalihan kampus Res Publica oleh tentara tersemat dalam nama salah satu gedung di kampus Trisakti. Menurut Usman, gedung utama yang ada di kampus Trisakti diberi nama M Syarif Thayeb seorang perwira tinggi TNI berpangkat Letnan Jenderal yang tidak lain merupakan seseorang yang ketika itu diutus untuk mengurus proses pengambilalihan kampus Res Publica.
Baca Juga: Ahli Hukum Pidana Trisakti Sebut Penangkapan Tapol Papua Tidak Sah
"Nah banyak sekali yang akhirnya punya latar belakang militer, ditambah dengan birokrasi dan juga partai Golkar, kemudian ikut mengelola Trisakti. Untuk waktu-waktu yang sangat panjang hingga generasi saya itu bisa masuk ke dalam kampus tersebut," tutur Usman.
Mahasiswa Clubing dan Kelompok Kecil Aktivis di Trisakti
Usman yang merupakan mantan ketua Senat Mahasisawa Fakultas Hukum Trisakti 1998-1999 itu mengungkapkan bahwa di awal dirinya berkuliah, mayoritas mahasiswa Trisakti memang merupakan kalangan yang memiliki latar belakang sosial dan kelas ekonomi menengah ke atas. Sebab menurut dia, ketika itu Trisakti merupakan kampus swasta termahal di Indonesia.
Bahkan Usman menyebut bahwa Trisakti sempat dianggap sebagai kampus apolitis dan gaul, berisi mahasiswa yang penuh dengan budaya pesta. Kendati begitu, di lain sisi masih ada kelompok kecil mahasiswa atau aktivis yang secara terus-menerus menghidupkan forum-forum diskusi di kampus Trisakti.
"Nah disinilah kelompok-kelompok kecil aktivis ini kemudian bertabrakan dengan tembok yang besar itu," ujar Usman.
Baca Juga: Mahfud Curhat Telat ke Trisakti gegara Aspal Bandara Adisutjipto Mengelupas
Usman menyamapaikan bahwa menjelang pengerahan mahasiswa di awal 98 banyak perasaan dilematis semacam itu yang dirasakan mahasiswa, mulai dari persoalan keluarga, kampus hingga politik. Terlebih ketika itu, di era rezim orde baru kegiatan diskusi hingga aksi turun ke jalan merupakan hal yang tabu.