Suara.com - Direktur Utama Amnesty International Indonesia (AII) sekaligus alumnus Universitas Trisakti, Usman Hamid kembali mengenang momen-momen di masa pergerakan mahasiswa menjelang runtuhnya rezim orde baru di era kepemimpinan Presiden Soeharto pada Mei 1998.
Menurut Usman, ketika itu banyak mahasiswa Trisakti khususnya yang dihadapkan oleh dilema pertentangan batin antara persoalan keluarga hingga politik.
Hal itu disampaikan Usman dalam acara bedah film 'Di Balik 98' yang disiarkan secara live melalui akun Instagram @kiosojokeos pada Rabu (13/5/2020) malam.
Kisah mahasiswa pergerakan 98 bernama Diana (diperankan oleh Chelsea Islan) dalam film 'Di Balik 98' hampir serupa dengan realitas mahasiswa umumnya di Trisakti ketika itu. Usman mengatakan pertentangan batin atau konflik yang dihadapi oleh Diana sebagai aktivis 98 sekaligus putri seorang anggota tentara, dalam realitasnya memang banyak ditemukan di kampus Trisakti pada tahun 98.
Baca Juga: Ahli Hukum Pidana Trisakti Sebut Penangkapan Tapol Papua Tidak Sah
"Nah di dalam kehidupan yang real di kampus Trisakti ketika itu memang banyak sekali aktivis Trisakti yang memiliki latar belakang keluarga yang demikian, baik itu memiliki keluarga tentara, memiliki keluarga dengan latar belakang birokrasi, atau memiliki latar belakang keluarga yang kuat hubungannya dengan partai Golkar," kata Usman.
Usman mengemukakan, bahwa ketika itu, mayoritas mahasiswa Trisakti memang memiliki latar belakang keluarga seorang tentara, birokrat, hingga memiliki kedekatan dengan partai Golkar. Sehingga, ketika itu muncul istilah ABG alias ABRI, Birokrat, dan Golkar.
"Jadi dulu ada istilah ABG, ABRI, Birokrasi, dan Golkar. Kenapa saya katakan demikian, selain memang itu adalah pengalaman yang saya alami langsung, juga karena secara historis kampus Trisakti merupakan kampus yang pada tahun 1965-an, ketika Indonesia mengalami gejolak politik yang besar, itu juga mengalami semacam perubahan besar di dalam kampus Trisakti," ujar Usman.
Markas Gerakan Kiri hingga Diambil Alih Tentara
Usman mengungkapkan, bahwa sebelum bernama Universitas Trisakti dahulu kampus tersebut bernama Res Publica. Kampus tersebut didirikan oleh perhimpunan kalangan Tionghoa yang memiliki pemikiran cemerlang dan kritis.
Ketika itu, Usman menyebut kampus Res Publica kerap dianggap sebagai markas alias sarang gerakan kiri. Sejumlah tokoh pemikir kiri hingga Partai Komunisme Indonesia (PKI) bahkan beberapa kali kerap diundang di kampus tersebut.
Baca Juga: Mahfud Curhat Telat ke Trisakti gegara Aspal Bandara Adisutjipto Mengelupas
"Kampus ini di zamannya ketika bernama Res Publica itu merupakan kampus yang dianggap sarang gerakan kiri, karena berkali-kali juga mengundang tokoh-tokoh kiri termasuk tokoh PKI di dalam acara-acara mimbar bebas atau dalam acara akademik di kampus Res Publica," ungkap Usman.