Suara.com - KAMPUNG Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara. Nostalgia menjebak Komariyah di sana. Ingatan membawa Komariyah untuk mengeja nama-nama: Yahya dan Jamal -- nelayan asli Kampung Akuarium. Ingatan juga membawa dia melantun tentang alat berat, kerumunan Satpol PP, dan tanah rakyat. Ingatan membawa Komariyah pada satu peristiwa: PENGGUSURAN.
Komariyah mengeja ingatan itu kala bertemu dengan saya di Rusunawa Rawa Bebek yang berlokasi di Pulogebang, Jakarta Timur, Rabu (13/5/2020). Kebetulan saat itu, saya sedang sedang singgah di sebuah warung kopi di pojok lobi rusunawa.
Warung kopi itu milik Komariyah. Ibu berusia 40 tahun itu berjualan sejak empat tahun lalu. Singkat cerita, Komariyah mengaku pernah tinggal di Kampung Akuarium. Dia merupakan salah satu warga yang menjadi korban penggusuran empat tahun silam yang kala itu Jakarta dipimpin Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selaku Gubernur DKI.
Gayung bersambut, pengakuan Komariyah ternyata sangat cocok dengan tulisan yang sebelumnya saya buat tentang kondisi warga Kampung Akuarium selama pandemi Corona pada Selasa (12/5/2020) kemarin.
Baca Juga: Pasutri Dibunuh Pakai Linggis, Korban Sempat Curhat ke Pembunuh Mau Mudik
Komariyah bisa bernostalgia tentang tempat tinggalnya dulu. Saya pun berkeyakinan, pertemuan ini bukan sesuatu yang kebetulan.
*****
Penggusuran yang terjadi di Kampung Akuarium empat tahun silam membuat sebagian warganya pindah ke Rusunawa Rawa Bebek, salah satunya Komariyah beserta suami dan dua anaknya. Sebagian warga lainnya memilih bertahan di Kampung Akuarium yang kekinian disebut sebagai shelter sementara.
Komariyah bercerita, sebelum penggusuran terjadi, dia adalah jurangan kontrakan di Kampung Akuarium. Total, dia punya lima petak kontrakan. Tiga disewa oleh warga dan sisanya dia pakai untuk tinggal sehari-hari. Menjadi juragan kontrakan di Kampung Akuarium tak bisa dilupakan oleh Komariyah.
"Kampung Akuarium mah nggak bisa di-lupain. Iye lah. Dulu kan di Kampung Akuarium saya punya kontrakan lima pintu," kata Komariyah, Rabu (13/5) siang.
Baca Juga: Pakai Wadah Botol, AAN Siram Istri Pakai Air Keras hingga Jatuh dari Motor
Komariyah mengatakan, dua petak kontrakan yang dia tidak sewakan dipakai untuk dua anaknya. Dari tiga petak kontrakan yang dia sewakan, Komariyah bisa mengantongi Rp. 1,5 juta setiap bulan. Sebuah angka yang tidak terlalu besar, cukup untuk hidup sehari-hari.
"Dua pintu saya pake sendiri. Kan anak-anak saya tidurnya misah sama saya, nggak nyampur lagi karena sempit. Dulu dapat penghasilan dari kontrakan itu satu juta lima ratus setiap bulan," sambungnya.
Komariyah bercerita, sebagian besar warga yang memilih pindah adalah warga yang memiliki lahan, surat-surat tanah yang lengkap. Sementara itu, mereka yang memilih bertahan adalah warga yang tidak memunyai rumah, yang hanya ngontrak saja di sana.
"Justru yang nggak punya rumah yang bertahan di Kampung Akuarium. Saya mah punya rumah di situ. Ada nih surat-suratnya masih saya simpen, masih komplit. KTP juga ada. Jadi posisinya kebalik, yang punya rumah, saat itu yang memilih pindah ke rusunawa," sambungnya.
*****
Sebagai manusia, Komariyah memunyai rasa rindu. Biografi Komariyah adalah biografi pesisir --laut, ikan, kapal yang bersandar, dan terik matahari. Kini, biografi Komariyah adalah biografi Pulogebang, sebuah kawasan yang terletak di timur Jakarta. Biografi dia kini bukan lagi juragan kontrakan, melainkan pemilik warung kopi.
Komariyah, sebagai hakikatnya seorang manusia, punya hak untuk menziarahi ingatan, kejayaannya di masa lalu. Dia masih sering kembali ke Kampung Akuarium. Alasannya banyak, lebih dari satu. Tidal bisa dihitung menggunakan jari. Misalnya, silaturahmi dengan tetangganya dulu.
Anak kedua Komariyah kini duduk di kelas 5 SD. Dia perempuan, tapi saya lupa menanyakan namanya. Dia masih bersekolah di daerah Kampung Akuarium. Otomatis, Komariyah sering mengantar putrinya menuju sekolah. Setiap hari, angin membawa badanya ke Kampung Akuarium. Angin membawa ingatannya pada kehidupannya dulu.
Komariyah sengaja tidak memindahkan anak nomor duanya di kawasan Pulogebang. Alasannya cukup demokratis. Anaknya tidak bisa bangun pagi. Bangunnya pukul 10.00 WIB. Kalau di Pulogebang, kebanyakan SD Negeri masuk sekolah pukul 06.30 WIB. Waktu yang terlalu dini, waktu yang sedang memberikan mimpi bagi anaknya --yang bangun pukul 10.00 WIB.
Berbeda dengan sekolah di kawasan Kampung Akuarium, tempat anak Komariyah bersekolah. Di sekolah itu, kegiatan belajar mengajar di mulai siang hari. Sebuah waktu yang efektif bagi anak Komariyah untuk berkegiatan.
Komariyah, seolah-olah merepresentasikan citra perempuan yang demokratis. Perlakuan pada anaknya penuh kasih sayang.
Pada saat penggusuran, anak Komariyah masih duduk di kelas 2 SD. Di usia itu, dia sudah menyaksikan bagaimana kekuasaan bekerja dengan masif: penggusuran.
"Kan setiap hari saya masih ke sana, ke pasar ikan. Ini anak saya yang cewek masih sekolah deket Pasar Ikan nih. Nah pas penggusuran dia itu kelas dua SD. Sekarang sudah kelas lima. Tiap hari saya masih nganterin dia nih," kata dia.
"Anak saya masuk siang. Pulang setengah lima. Tadinya kan mau di-pindahin sekolah. Cuma kalau di sini sekolah kan masuknya pagi. Anak saya kan gak bisa bangun pagi. Saya ngimbangin dia. Kesian orang dia jam 10 baru bangun," sambungnya.
Rindu Komariyah juga menyasar pada tetangganya. Dia bercerita, tetangganya yang bernama Jamal dan Yahya adalah nelayan. Dua lelaki itu masih bertahan di Kampung Akuarium. Di saat Komariyah menunggu anaknya selesai sekolah, dia biasa berkumpul dengan tetangganya yang dulu. Tentunya dengan istrinya Jamal dan Yahya.
"Kalau lagi kangen mah saya main ke sana. Teman saya banyak kan di sana. Pak Jamal, Pak Yahya itu pelaut tetangga saya," kenang dia.
******
Ahok pernah menjadi orang nomor satu di Ibu Kota. Dia adalah Gubernur DKI Jakarta sebelum tersandung kasus penistaan agama. Saat menjabat, dia menggusur Kampung Akuarium dengan alasan revitalisasi dan menduduki tanah negara.
Masih segar dalam ingatan Komariyah saat alat berat meratakan bangunan di Kampung Akuarium. Komariyah menyaksikan barisan Satuan Polisi Pamong Praja mengamankan jalannya penggusuran. Saat itu, Komariyah memilih menepi.
Dia lebih memilih mengabadikan momen itu dengan ponsel genggamnya. Kata dia, preman-preman Kampung Akuarium, kalah menghadapi penguasa.
"Inget lah, saya sampai ngerekam pas Satpol PP gusur, ada alat berat juga. Bukan rame lagi, ribut malah. Saya mah nonton aja. Namanya ada preman-preman tetap aja kalah. Polisi sama Pol PP banyak," tutupnya.
Saya tidak bisa menemani Komariyah bernostalgia lebih lama. Obrolan singkat ini berkesan. Melibatkan perasaan. Melibatkan sejarah. Sejarah tubuh dan sejarah nama-nama.
Biografi pesisir masih tersisa pada Komariyah. Biografi penggusuran masih tertinggal di kepala Komariyah. Biografi memberikan saya pada satu kata: pertemuan ini melibatkan perasaan.