Suara.com - Lima dari enam tahanan politik Papua mendadak batal dapat pembebasan asimilasi dari penjara pada Selasa (12/5/2020) hari ini, selain tekanan politik, mereka juga sempat dimintakan uang untuk bebas oleh oknum petugas di penjara.
Hal itu diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid yang menyebut kuasa hukum dari kelima tapol Papua sempat dimintakan uang sejumlah Rp 1 juta oleh oknum petugas penjara.
"Pendamping (hukum) mereka sempat melaporkan kepada Amnesty adanya oknum yang meminta uang. Panitera sempat minta uang Rp 1 jt ke penasehat hukum," kata Usman kepada Suara.com, Rabu (13/5/2020).
Fakta ini, kata Usman, menimbulkan dugaan bahwa ada praktik jual beli asimilasi di penjara selama ini belum bisa benar-benar dihapuskan.
Baca Juga: Batal Bebas! Amnesty Ungkap Dugaan Jual Beli Asimilasi Tapol Papua
Oleh sebab itu, Amnesty meminta Ombdusman RI untuk mengusut dugaan mal-administrasi yang terjadi terhadap keempat tapol Papua di Rumah Tahanan Salemba dan satu tapol Arina Elopere alias Wenebita Gwijangge (20) yang ditahan di Rutan Pondok Bambu, rutan yang kabarnya sudah ada tahanan terjangkit covid-19.
“Jika pihak berwenang ingin mendengarkan imbauan Komisi Tinggi HAM PBB dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19 di penjara, justru pembebasan terhadap seluruh tahanan hati nurani tersebut sangat mendesak dan harus menjadi prioritas,” tegasnya.
Selain kelima tapol Papua, Amnesty juga mendesak pemerintah memberikan asimilasi kepada kelompok lain seperti perempuan hamil, orang dengan disabilitas, orang lanjut usia, orang yang sakit, pelaku kejahatan ringan serta tahanan yang akan segera menyelesaikan masa hukumannya.
Sebelumnya, kelima tapol Papua itu seharusnya bebas pada 26 Mei 2020, namun pada 11 Mei petugas rutan menyatakan bahwa kelimanya akan mendapatkan asimilasi pembebasan napi dalam rangka pencegahan corona.
Namun, saat kelimanya sudah berkemas dan berada di ruang transit penjara untuk segera pulang, tiba-tiba pada pukul 17.00 WIB, petugas registrasi kembali memanggil kelima tapol dan menyatakan bahwa asimilasi batal diberikan kepada mereka sehingga mereka batal bebas hari ini.
Baca Juga: Batal Bebas dari Penjara, Tahanan Politik Papua Diprank Negara
"Alasannya 'para tapol melakukan kejahatan terhadap keamanan Negara' dimana berbenturan dengan PP 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan," kata Tim Advokasi Papua Michael Himan.
Oleh karena itu, kelima tapol ini masih harus mendekap di penjara sekitar dua minggu ke depan, diperkirakan mereka baru bisa bebas murni tanpa asimilasi pada 26 Mei 2020.
Tim Advokasi Papua menduga ada tekanan politik yang masih saja menekan para aktivis Papua, bahkan ketika mereka sudah divonis sekali pun.
Tim Advokasi Papua juga meminta Ombudsman RI dan Komnas HAM untuk menyelidiki keputusan yang diambil oleh Kemenkumham dan Dirjen Pemasyarakatan ini.
Sementara satu tahanan politik lainnya, Isay Wenda (25) yang divonis 8 bulan penjara dikurangi masa tahanan, sudah keluar penjara terlebih dahulu pada 28 April 2020 lalu.
Untuk diketahui, Majelis hakim memutuskan bahwa keenamnya terbukti bersalah karena melanggar Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 KUHP tentang makar saat menggelar aksi damai terkait di depan Istana Negara Jakarta menolak rasisme terhadap mahasiswa Papua di Asrama Papua di Surabaya pada 28 Agustus 2019 lalu.