Suara.com - Pengadilan Negeri Pekanbaru memutus pidana 16 pelanggar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Kota Pekanbaru pasa 30 April 2020.
Ke-16 orang itu divonis pidana denda subsider pidana penjara, mulai dari denda sebesar Rp 700 ribu subsider satu bulan penjara, hingga Rp 3 juta subsider dua bulan penjara.
Oleh Penuntut Umum mereka didakwa melanggar Pasal 216 KUHP dan Peraturan Walikota Pekanbaru (Perwako) Nomor 74 Tahun 2020 tentang pelaksanaan PSBB. Menurut Penuntut Umum dalam pemberitaan media lokal, hal ini karena sidang berkaitan dengan pelanggaran selama masa PSBB.
Oleh karena Perwako tidak memuat sanksi pidana, maka PU menggunakan Pasal 216 KUHP.
Baca Juga: Diburu Warga, Kakek Pembunuh Pasutri Sempat Ngumpet sambil Pegang Linggis
Atas hal itu koalisi masyarakat sipil memberikan beberapa catatan penting. Pertama Pasal 216 KUHP didesain untuk memberikan perlindungan bagi pejabat atau aparatur negara dalam dua konteks. Yakni, untuk menjalankan tugas pengawasan berdasarkan suatu Undang Undang, dan dalam konteks pengusutan suatu tindak pidana bagi aparat penegak hukum.
"Sehingga, aturan Pasal 216 KUHP baru dapat digunakan dalam hal seseorang melawan atau tidak mematuhi perintah pejabat yang sedang bertugas mengawasi aturan atau perintah aparat penegak hukum dalam pengusutan kasus. Jadi bukan sekedar melanggar peraturan seperti aturan PSBB atau maklumat Kapolri," kata peneliti ICJR, Maidina Rahmawati dalam keterangan pers, Rabu (13/5).
Kedua, kalau yang dipersoalkan adalah berkaitan dengan kewajiban PSBB, maka harus jelas pada siapa perintah pengawasan diberikan. Maka Pasal 216 KUHP baru bisa dilaksanakan apabila para pelaku melawan perintah yang diberikan oleh pejabat dan kewenangan itu harus diberikan oleh UU.
Pasalnya ketentuan PSBB berbentuk peraturan (Perwako), maka para palaku harus melawan perintah petugas pada saat pengawasan terjadi, bukan melawan Perwako itu sendiri.
Ketiga, apabila yang dilanggar adalah Perwako, maka hal ini merupakan pelanggaran secara administratif yang diatur oleh kewenangan pemerintah daerah dalam hal ini Walikota Pekanbaru.
Baca Juga: Jokowi Naikan Lagi Iuran BPJS saat Corona, PAN: Tak Punya Empati ke Rakyat
"Maka mekanisme penegakannya pun harus sesuai dengan aturan dalam Perwako itu sendiri, sehingga perbuatan itu bukanlah suatu perbuatan tindak pidana," terangnya.
Keempat, karena para pelaku pada dasarnya melakukan pelanggaran administratif, maka karena tidak ada delik pidana yang diatur terkait pelanggaran PSBB di Pekanbaru baik dalam bentuk UU atau Perda. Sehingga berdasarkan Pasal 216 KUHP, polisi tidak memiliki kewenangan sama sekali untuk melakukan pengusutan tindak pidana.
Karena yang dilindungi oleh Pasal 216 KUHP adalah APH yang sedang menjalankan tugas pengusutan tindak pidana, maka selama polisi tidak dalam konteks menjalankan fungsi penegakan hukum pengusutan tindak pidana dan tidak memiliki surat perintah untuk itu, maka penggunaan Pasal 216 KUHP adalah keliru.
Untuk itu, koalisi masyarakat sipil mengingatkan utamanya kepada aparat penegak hukum agar lebih berhati-hati dalam menggunakan pasal pidana dalam kondisi pandemi seperti saat ini.
"Utamanya untuk pengadilan, hal ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan suatu preseden baru penggunaan pasal yang sangat karet dalam implementasi Pasal 216 KUHP," tuturnya.
Koalisi masyarakat sipil juga mengingatkan bahwa Pasal 28J UUD 1945 dengan jelas menegaskan bahwa pembatasan terhadap pelaksanaan hak asasi manusia hanya bisa dibatasi oleh Undang Undang, bukan oleh Peraturan Walikota, terlebih ini adalah pemidanaan terhadap sebuah tindakan.
Selain itu, koalisi juga mengingatkan bahwa semangat penegakkan PSBB harus difokuskan pada upaya-upaya administrasi. Sanksi yang diberikan harus fokus pada urusan administrasi untuk menjamin efektivitas pelaksanaan PSBB sesuai peraturan perundang-undangan.
Pidana, terlebih lagi pidana penjara selain harusnya digunakan sebagai ultimum remedium dan harus sejalan dengan semangat pencegahan Covid-19.
"Sehingga, yang harus jadi fokus adalah pemberdayaan masyarakat untuk paham upaya pencegahan, bukan kebijakan punitif yang dipaksakan," jelasnya.
Apalagi kebijakan yang memuat pidana penjara tidak hanya masyarakat lebih rentan namun juga administrasi peradilan, mulai dari petugas kepolisian, penuntut umum, hakim-hakim, hingga pelaku yang tidak bisa melakukan upaya pencegahan.