Suara.com - Rencana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melakukan simulasi pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dikritik ahli epidemiologi, yang menyebut rencana itu terlalu dini dan tanpa indikator keberhasilan yang jelas.
Wacana simulasi pelonggaran diutarakan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo, dalam konferensi pers pada Selasa (12/05). Dia mengatakan, Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan gugus tugas untuk menyiapkan pelonggaran.
"Bapak presiden telah memberikan instruksi kepada gugus tugas untuk menyiapkan suatu simulasi agar apabila kita melakukan langkah-langkah pelonggaran, maka tahapan-tahapannya harus jelas," ujar Doni Monardo.
Di Indonesia, ada empat provinsi yang melakukan PSBB, yakni Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Gorontalo.
Baca Juga: Berjoget Acuhkan Corona, 14 Pengunjung hingga Pemilik Karaoke Didenda PSBB
Sementara, sejumlah kota atau kabupaten di luar wilayah itu yang menerapkan PSBB, termasuk Surabaya di Jawa Timur, dan Tangerang Selatan di Banten.
Akan tetapi, ahli epidemiologi, Tri Yunis Miko Wahyono, yang juga duduk dalam tim pakar gugus tugas covid-19 nasional, mempertanyakan ide pelonggaran PSBB itu.
"Apa yang mau dilonggarkan? Ini sudah longgar banget pelaksanaan PSBB karena dari awal nggak ada indikatornya," ujar Tri Yunis.
"PSBB apa ukuran keberhasilannya? Jumlah keluarga yang tetap di rumah berapa persen? Jumlah transportasi yang kurang berapa persen? Berapa banyak yang pakai masker di tempat umum? Itu harus diukur. Kalau nggak, itu artinya nggak ada indikatornya," ujar Tri Yunis.
Ribuan pelanggaran PSBB
Baca Juga: BNPB Usulkan PSBB Se-Jawa, DIY Bersikeras Hanya Terapkan Tanggap Darurat
Tri Yunis yang juga menjabat sebagai Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, mengatakan, sejauh ini PSBB paling berimbas pada kantor-kantor yang meliburkan pegawainya, tapi belum pada masyarakat luas lainnya.
Ia memberi contoh pasar tradisional di sejumlah daerah yang menerapkan PSBB, masih beraktivitas normal.
Sementara itu menurut data Dirlantas Polda Metro Jaya, lebih 23.000 orang melanggar aturan lalu lintas terkait PSBB di Jakarta pada akhir April lalu.
Juga di kawasan ibu kota, sejumah orang dilaporkan berkerumun menghadiri penutupan gerai makanan cepat saji di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat, meski aturan PSBB masih berlaku. Video peristiwa ini kemudian viral di media sosial.
Di DKI Jakarta, pelanggaran terhadap aturan PSBB sebetulnya sudah diatur Pergub No. 41 tahun 2020 yang ditandatangani Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tanggal 30 April 2020 lalu.
Sementara di daerah lain yang melakukan PSBB, yakni Kota Bekasi, Jawa Barat, hingga pekan lalu, tercatat lebih dari 17.000 yang melanggar aturan PSBB.
Apa indikatornya?
Ketiadaan indikator seperti yang disebutkan Tri Yunis dikonfirmasi oleh Ketua Rumpun Tracing Gugus Tugas penanganan Covid-19 wilayah Jawa Timur, Kohar Hari Santoso.
Jawa Timur, adalah provinsi kedua dengan jumlah kasus tertinggi di Indonesia, yang sejumlah daerahnya, seperti Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo melaksanakan perpanjangan PSBB karena kasus yang terus meningkat.
Kohar mengatakan, pihaknya mengukur keberhasilan dengan tiga indikator, sebagaimana yang dicantumkan di Peraturan MenterI Kesehatan tentang PSBB Nomor 9 tahun 2020.
"Yang pertama, pelaksanaan PSBB bisa terlaksana dengan baik. Kedua, peningkatan kasus sudah bisa dikendalikan. Bukan berarti tidak ada kasus lagi, tapi bisa dikendalikan," ujarnya.
"Ketiga, tidak ada transmisi lokal atau perluasan daerah yang terkena Covid-19."
Meski begitu, menurut pakar epidemiologi Tri Yunis, indikator lebih jelas diperlukan, karena terkait penurunan jumlah kasus, misalnya, itu sangat tergantung dengan kapasitas laboratorium di suatu daerah.
Indikator-indikator itu perlu diperjelas, sebelum pemerintah melonggarkan PSBB, ujarnya.
Tri Yunis juga meminta pemerintah untuk fokus dulu ke penurunan kasus, mengingat jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia yang sudah mencapai lebih dari 14.000.
"Kalau kasus sudah menurun, PSBB-nya diturunkan bertahap. Ini belum bicara menurunkan kasus saja sudah bicara pelonggaran," ujar Tri Yunis.
'Jika kurva landai'
Sementara, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo, mengatakan keputusan pelonggaran itu tak akan diambil jika jumlah kasus di suatu daerah masih tinggi.
"Kalau daerah belum menunjukkan kurva menurun apalagi kurva melandai, maka tidak mungkin daerah itu diberikan kesempatan untuk lakukan pelonggaran. Artinya apa? Statusnya (PSBB) masih tetap tidak boleh kendor, justru harus meningkat kembali," kata Doni.
Ia juga menjelaskan keputusan pelonggaran akan dilakukan dengan mendengar masukan pakar epidemiologi, peneliti, hingga tokoh masyarakat.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan keputusan pelonggaran PSBB harus dilakukan dengan secara hati-hati, tidak tergesa-gesa, dan berdasarkan data di lapangan.
Sementara itu, satu provinsi yang melakukan PSBB, Sumatera Barat, telah menyiapkan langkah untuk melihat apakah pelonggaran bisa segera dilakukan.
Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno mengatakan pihaknya akan melaksanakan tes secara acak pada warga di suatu wilayah, yang disebutnya pool test, untuk melihat daerah mana yang pertambahan kasusnya sudah bisa terkendalikan.
"Ketika kita ingin melakukan relaksasi terhadap PSBB kita, dari pool test kita lihat kawasan negatif, kemudian kita putuskan untuk dilonggarkan," ujarnya.