Suara.com - Lima dari enam tahanan politik Papua mendadak batal dapat pembebasan asimilasi dari penjara pada Selasa (12/5/2020) hari ini. Mereka disebut telah dikerjai oleh negara Indonesia.
Kelima tapol yang harusnya bebas hari ini di antaranya; Surya Anta Ginting (39), Anes Tabuni alias Dano Anes Tabuni (31), Charles Kossay (26), dan Ambrosius Mulait (25) ditahan di Rutan Salemba, serta Arina Elopere alias Wenebita Gwijangge (20) ditahan di Rutan Pondok Bambu.
Juru bicara Front Mahasiswa Bersatu (FMB) Pendeta Suarbudaya Rahadian menilai kelima tapol tengah dikerjai oleh pemerintah, sebab mereka sudah memenuhi syarat dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
"Kebebasan didepan mata, lalu kekuasaan mengintervensi hukum jadilah peristiwa hari ini: Tapol Papua di Jakarta Di-Prank Negara," kata Suarbudaya kepada Suara.com, Selasa (12/5/2020).
Baca Juga: Potret Muda Yasonna Laoly Bikin Pangling, Warganet: Ganteng Dari Dulu Pak
Dia mengatakan bahwa Keputusan Menkumham yang ditandatangani Yasonna Laoly itu diskriminatif sebab tidak akan berlaku bagi tahanan yang memiliki perbedaan pandangan politik dengan pemerintah.
"Kalau bukan diskriminatif apa lagi namanya pak Yasona?. Orang yang dianggap berseberangan sikap politik haknya, ditahan? Padahal di Rutan Pondok Bambu diduga ada 12 orang positif Corona, kita belum tahu berapa yang di Salemba," ucapnya.
Sebelumnya, kelima tapol Papua itu seharusnya bebas pada 28 Mei 2020, namun pada 11 Mei petugas rutan menyatakan bahwa kelimanya akan mendapatkan asimilasi pembebasan napi dalam rangka pencegahan corona.
"Saya enggak habis pikir, kalau memang enggak akan bebas kenapa (para tapol) kemaren Senin 11 Mei sudah disuruh beres-beres, rapid test, tanda tangan register dan lain-lain," kata Suarbudaya.
Namun, saat kelimanya sudah berkemas dan berada di ruang transit penjara untuk segera pulang, tiba-tiba pada pukul 14.00 WIB, petugas registrasi kembali memanggil kelima tapol dan menyatakan bahwa asimilasi batal diberikan kepada mereka sehingga mereka batal bebas hari ini.
Baca Juga: Ungkap Yasonna Salah Kutip Rekom PBB, Veronika: 63 Tapol Papua Harus Bebas
"Alasannya 'para tapol melakukan kejahatan terhadap keamanan Negara' dimana berbenturan dengan PP 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan," kata Tim Advokasi Papua Michael Himan.
Oleh karena itu, kelima tapol ini masih harus mendekap di penjara sekitar dua minggu ke depan, diperkirakan mereka baru bisa bebas tanpa asimilasi pada 28 Mei 2020.
Tim Advokasi Papua menduga ada tekanan politik yang masih saja menekan para aktivis Papua, bahkan ketika mereka sudah divonis sekali pun.
Tim Advokasi Papua juga meminta Ombudsman RI dan Komnas HAM untuk menyelidiki keputusan yang diambil oleh Kemenkumham dan Dirjen Pemasyarakatan ini.
Sementara satu tahanan politik lainnya, Isay Wenda (25) yang divonis 8 bulan penjara dikurangi masa tahanan, sudah keluar penjara terlebih dahulu pada 24 April 2020 lalu.
Untuk diketahui, Majelis hakim memutuskan bahwa keenamnya terbukti bersalah karena melanggar Pasal 106 KUHP jo. Pasal 55 KUHP tentang makar saat menggelar aksi damai terkait di depan Istana Negara Jakarta menolak rasisme terhadap mahasiswa Papua di Asrama Papua di Surabaya pada 28 Agustus 2019