Keluarga Korban Semanggi I dan II Menggugat Pernyataan Jaksa Agung ke PTUN

Selasa, 12 Mei 2020 | 23:09 WIB
Keluarga Korban Semanggi I dan II Menggugat Pernyataan Jaksa Agung ke PTUN
aksi peringatan Tragedi Semanggi di depan kampus Universitas Atmajaya, Semanggi, Jakarta, Senin (13/11).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II menggugat Jakaa Agung S.T. Burhanuddin ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Selasa (12/5/2020). Gugatan itu terkait pernyataan Jaksa Agung yang menyebut Tragedi Semanggi I – Semanggi II bukan pelanggaran HAM berat dalam rapat paripurna DPR pada Januari lalu.

Amnesty International Indonesia menyatakan pertanyaan Jaksa Agung menyebabkan keluarga korban sebagai para penggugat mengalami kerugian langsung. Pernyataan tersebut dianggap telah menghambat proses hukum pelanggaran HAM Berat Peristiwa Semanggi I dan II, menghalangi kepentingan keluarga korban untuk mendapatkan keadilan atas meninggalnya para korban.

Selain itu juga menghalangi keluarga korban mendapatkan akses kepastian hukum dan kebenaran peristiwa pelanggaran HAM.

"Pernyataan Jaksa Agung itu juga turut mengaburkan fakta bahwa peristiwa Semanggi I dan II adalah pelanggaran HAM berat. Hal ini mencederai perjuangan keluarga korban dan seluruh masyarakat pendukung yang tidak pernah berhenti sejak 1998," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam keterangan persnya.

Baca Juga: 5 Fakta Laka Lantas Wakil Jaksa Agung Arminsyah Kemudikan Nissan GT-R

Para penggugat mengajukan gugatan sebagai upaya hukum karena kapasitasnya sebagai warga negara, yang memiliki hak konstitusional yang dijamin UUD 1945. Dalam Pasal 28D ayat (1) menyebutkan 'Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama terhadap hukum.'

Selain itu gugatan tersebut merupakan wujud partisipasi publik dalam menciptakan proses bernegara yang transparan, partisipatif, dan akuntabel, sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Mengapa keluaga korban menggugat melalui PTUN? sebab menurut Amnesty pernyataan Jaksa Agung dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI dengan Jaksa Agung pada tanggal 16 Januari 2020 merupakan bagian dari Tindakan Pemerintahan. Perbuatan melanggar hukum oleh pejabat pemerintahan adalah kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Usman menjelaskan, gugatan tersebut merupakan bentuk lain advokasi formal untuk menghadirkan akuntabilitas penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Gugatan itu juga menjadi salah satu upaya untuk menghadang kelelahan (exhaustion) perjuangan korban yang selama ini tidak pernah direspon baik oleh negara dan hanya dijadikan komoditas politik elektoral.

Melalui metode litigasi strategis, gugatan ini dapat membuka pintu keadilan dan dapat memberikan dampak perubahan kebijakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Baca Juga: Obituari Wakil Jaksa Agung Arminsyah: Hobi Mobil, Bangun Corolla DX

"Selain itu, gugatan ini juga dapat dimaknai sebagai medium amplifikasi dukungan publik terhadap langkah-langkah advokasi pelanggaran HAM berat masa lalu," terangnya.

Dia menambahkan, gugatan tata usaha negara itu merupakan tindak lanjut keberatan administratif yang disampaikan keluarga korban, didampingi oleh Advokat dari LBH Jakarta kepada Jaksa Agung pada 13 Februari 2020. Jaksa Agung kemudian membalas Keberatan Administratif tersebut pada 19 Februari 2020.

Namun, dalam surat tersebut Kejaksaan menulis nomor surat Keberatan Administratif yang salah dan pernyataan dalam balasan tidak menggambarkan keinginan untuk mencabut pernyataan mereka yang menyatakan bahwa Peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.

Melalui gugatan tata usaha negara tersebut, Jaksa Agung diharapkan mengklarifikasi dan membatalkan pernyataan yang menyatakan peristiwa Semanggi I dan II bukan merupakan Pelanggaran HAM Berat.

"Kami bersama keluarga korban mendorong Jaksa Agung untuk melanjutkan penyidikan terhadap pelanggaran HAM berat berdasarkan penyelidikan dan laporan dari Komnas HAM, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI