TKI saat Corona: Tak Digaji, PHK, hingga Tidur di Lemari

Reza Gunadha Suara.Com
Senin, 11 Mei 2020 | 23:08 WIB
TKI saat Corona: Tak Digaji, PHK, hingga Tidur di Lemari
[bbc]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Banyak pekerja migran Indonesia (PMI) mengalami berbagai bentuk pelanggaran hak kerja di tengah pandemi Covid-19, namun pemerintah mengatakan telah melakukan beragam langkah guna menjamin pemenuhan hak PMI.

Sejumlah pekerja migran asal Indonesia mengaku mengalami pelanggaran hak kerja selama wabah virus corona, mulai dari pemutusan hubungan kerja (PHK), gaji tidak dibayar, ketakutan melaporkan kondisi kesehatan karena khawatir ditangkap oleh aparat keamanan akibat bekerja secara ilegal, bekerja ekstra tanpa diberikan insentif, hingga kelaparan.

Hal itu terungkap dari hasil survei dampak Covid-19 terhadap PMI yang dilaksanakan oleh Human Rights Working Group (HRWG) bersama dengan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Jaringan Buruh Migran (JBM).

Tak semua pekerja migran dikarantina dan dites Covid-19, pengamat khawatir penyebaran virus ke kampung halaman Dampak virus corona: Pekerja migran Indonesia sulit mendapatkan masker dan harus 'bekerja ekstra' di Hong Kong Risiko kasus impor virus corona di tengah kepulangan puluhan ribu pekerja migran

SBMI dan JBM menilai bantuan yang diberikan pemerintah hanya bersifat kedaruratan dan tidak menjamin kehidupan mereka di negara penempatan selama wabah Covid-19 berlangsung.

Baca Juga: 34 Ribu TKI Kembali, Jokowi Pastikan Kesiapan Karantina dan RS Rujukan

Sementara, pemerintah Indonesia menyebut telah meminta kepada pemberi kerja di negara penempatan untuk memberikan seluruh hak PMI, baik pesangon PHK dan juga pembayaran gaji.

Pemerintah Indonesia juga meminta PMI untuk menghubungi perwakilan pemerintah ketika mengalami masalah di negara penempatan.

'Tidur di atas lemari, mengurus 50 orang hingga kabur'

Sebagian besar PMI yang bekerja di Hong Kong, Singapura, dan Taiwan masih mendapatkan gaji bulanan. Tapi mereka harus kerja ekstra tanpa intensif dan merasa kesepian akibat dilarang keluar rumah.

"Kami mengalami eksploitasi. Jam kerja bertambah, hak libur hilang, dilarang keluar rumah. Untuk salat dan istirahat saja sulit. Kami pun tidak punya kamar jadi ada yang tidur di sofa, kamar mandi, dapur bahkan di atas lemari," kata Nurhalimah, perwakilan SBMI di Hong Kong.

Masalah serupa juga dialami oleh Ari, seorang pekerja migran yang kini bekerja di sebuah panti jompo di Taiwan. Dia mengaku sebelum pandemi hanya merawat paling sedikit sembilan orang, namun kini lansia yang harus dirawatnya berjumlah lima kali lipat.

Baca Juga: Jokowi Minta Jajaran Menteri Antisipasi Kembalinya 34 Ribu TKI ke Tanah Air

"Biasanya satu orang mengurus sembilan sampai 12 orang. Tapi sekarang harus mengurus hingga 50 orang. Itu sangat berat bagi kami," cerita Ari.

Sementara itu, di Singapura, terdapat beberapa pekerja asal Indonesia yang memilih kabur dari rumah majikan akibat pekerjaan yang tidak ada habisnya, seperti diungkapkan oleh Supriyatin.

Belum lagi, tambahnya, gajinya juga dipotong imbas dari lesunya ekonomi selama pandemi.

"Kerja bertambah karena majikan kerja dari rumah, anak sekolah dari rumah. Banyak yang tidak betah dan kabur. Apalagi gaji dipotong dari S$600 menjadi Sing$400 sampai ekonomi keluarga normal," tutur Supriyatin.

PMI Arab Saudi: 'Beli sikat gigi saja susah'

Di Arab Saudi, sekitar 54% pekerja asal Indonesia tidak mendapatkan gaji. Bahkan dalam satu kasus, ada sekitar 30 pekerja yang kelaparan.

"Ada 30 tenaga skill yang bekerja di restoran tidak dapat makan, tidak digaji, didiskriminasi, bahkan [beli] sikat gigi saja tidak bisa. Sudah dapat bantuan untuk 15 hari [dari KJRI] tapi sudah habis, lalu ke depan bagaimana?" kata perwakilan SBMI dari Arab Saudi, Roland Kamal.

Roland menambahkan pekerja migran yang paling berdampak adalah mereka yang bekerja secara ilegal karena mereka takut ditangkap aparat keamanan jika keluar rumah. Namun di sisi lain, mereka tidak memiliki uang dan tidak juga mendapatkan bantuan.

"Lalu yang parah lagi bagi mereka yang sakit dan tidak bisa keluar rumah. Ada satu korban menunggu di rumah lima hari, dan saat dibawa ke RS langsung meninggal dunia," katanya.

Di kasus lain, seorang responden survei mengungkapkan "Satu setengah bulan tanpa uang sama sekali, bahan makanan terbatas sampai beberapa hari kedepan. Setelah itu, kelaparan."

Roland pun meminta pemerintah untuk segera melakukan repatriasi kepada PMI ilegal dan terus memberikan bantuan bagi PMI yang kesulitan.

Hasil Survei terhadap pekerja migran

Hasil survei HRWG bersama dengan SBMI dan JBM pada periode 21-30 April 2020 menunjukan beragam masalah yang dihadapi pekerja migran Indonesia di sejumlah negara.

Survei itu menemukan sekitar 54% PMI yang bekerja sebagai buruh pabrik dan konstruksi seperti di Malaysia dan Arab Saudi banyak yang tidak mendapat gaji.

Sementara, 95% PMI di Singapura dan Hong Kong meski masih bekerja dan mendapatkan gaji, mereka mendapatkan beban kerja berganda, pembatasan mobilisasi, perampasan hak libur, depresi dan tidak mendapatkan upah lembur.

Sementara itu, PMI yang bekerja di sektor manufaktur di Taiwan dan Korea Selatan tidak diizinkan keluar rumah atau asrama sehingga mereka mulai menghadapi gangguan psikologis, ungkap survei tersebut.

Survei dilakukan menggunakan layanan SurveyMonkey dengan mengumpulkan 149 responden yang bekerja di sembilan negara tujuan.

Pemerintah didesak aktif lindungi PMI

HRWG, SBMI dan JBM mendesak pemerintah untuk memberikan bantuan bahan pokok makanan untuk menjamin hak hidup PMI secara berkesinambungan.

Deputi Direktur HRWG Daniel Awigra pun mendesak pemerintah untuk melindungi hak-hak pekerja migran yang dipecat, tidak digaji, dan mengalami eksploitasi.

"Lalu memberikan jaminan sosial [BPJS] terhadap pekerja migran dan keluarganya. Melanjutkan program repatriasi pekerja migran Indonesia tak berdokumen dari Arab Saudi dan Malaysia karena mereka merupakan kelompok migran yang paling terdampak," kata Daniel

Berdasarkan data Migran Care, diperkirakan terdapat sekitar 4,5 juta pekerja migran Indonesia di luar negeri.

Sebagian besar diantara mereka adalah perempuan (sekitar 70%) yang bekerja di sektor domestik (sebagai PRT) dan manufaktur.

Selebihnya, sekitar 30% adalah laki-laki yang bekerja sebagai buruh perkebunan, konstruksi, transportasi dan jasa.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan sebanyak 587 PMI terpapar virus corona dan 11 di antaranya meninggal dunia. Laporan itu didapat dari 12 Atase Ketenagakerjaan di 11 negara.

Sementara itu, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) memperkirakan terdapat 34.300 PMI yang pulang dari Mei hingga Juni dengan alasan cuti lebaran, habis kontrak dan dipecat akibat pandemik corona.

Respon dan upaya Pemerintah

Kendati begitu, Menaker Ida Fauziyah mengatakan pemerintah telah melakukan beragam langkah guna menjamin pemenuhan hak PMI.

Dia mengungkapkan, perwakilan pemerintah di luar negeri, termasuk para atase ketenagakerjaan (atnaker) telah dan terus berkoordinasi, baik dengan Kementerian Ketenagakerjaan setempat, maupun dengan pihak agensi dan juga pihak pemberi kerja.

"Kami melakukan mediasi dan meminta agar jika di-PHK diberikan pesangon dan hak lainnya sesuai aturan yang berlaku, dan diberikan kesempatan untuk bisa bekerja pada pengguna/perusahaan yang lain," katanya kepada wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau.

Demikian halnya, lanjut Ida, dengan gaji yang tidak dibayar. Dia menegaskan perwakilan pemerintah akan membantu untuk memastikan agar gaji mereka dibayar.

"Untuk itu perwakilan telah membuka layanan pengaduan, khususnya pada masa pandemi Covid-19 ini dan siap membantu penyelesaian permasalahan yang dihadapi oleh para PMI.

Oleh karenanya PMI tidak perlu takut untuk menghubungi perwakilan manakala ada masalah-masalah yang dihadapi," tegas Ida.

Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan, langkah yang sudah dan akan terus dilakukan pemerintah adalah menyalurkan kebutuhan pokok kepada PMI baik bekerja secara legal maupun ilegal, seperti di Malaysia maupun negara di Timur Tengah.

"Seperti Malaysia contohnya, dari awal April hingga saat ini pemerintah telah menyalurkan lebih dari 230 ribu paket sembako kepada mereka untuk bisa bertahan dalam kurun waktu satu minggu tanpa memperhatikan dia pekerja legal atau ilegal," katanya.

Lanjutnya, pemerintah pun terbuka dan siap membantu mencari solusi bersama bagi PMI yang membutuhkan tanpa mengenal status legal ataupun ilegal.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI