Seperti cerita 'liburan' sepasang kekasih di Australia di atas, ada kemungkinan orang-orang membuat tuduhan yang tidak tepat jika mereka tidak mengetahui kejadian secara utuh.
Itulah salah satu alasan Jenny dan Veronika memutuskan tidak melaporkan bar di lingkungan mereka kepada otoritas Chicago. Mereka tidak benar-benar tahu yang terjadi.
Pakar filsafat moral, Hannah Tierney, menyebut ambiguitas tentang benar dan salah dalam melaporkan seseorang ke polisi ini juga bisa berimplikasi pada hal-hal yang tak diinginkan, termasuk terhadap pihak yang berwenang.
Dari New York hingga Sydney, angka kejahatan menunjukan denda yang tidak seimbang bagi warga permukiman miskin.
Baca Juga: Sanksi Pelanggar PSBB Surabaya Raya; Terancam Tak Bisa Perpanjang SIM
"Saya khawatir dampak pada orang-orang rentan dan yang terpinggirkan dalam sistem ini, di mana polisi diberikan hak mengambil diskresi," kata Tierney.
Ambiguitas tentang apa yang boleh dan dilarang juga memicu debat panas di Inggris. Kepolisian meminta laporan pelanggaran 'lockdown' walau ada ruang abu-abu dalam peraturan itu.
Kepolisian Inggris bekerja dalam konsep 'pemolisian berdasarkan persetujuan'.
Konsep hukum itu menyatakan, polisi hanya bisa mendapatkan kewenangan luar biasa untuk menangkap dan menahan seseorang karena publik menghendakinya.
Setelah perdebatan selama beberapa pekan mengenai boleh tidaknya seseorang berjalan keliling desa--sesuatu yang ditolak masyarakat pedesaan, otoritas kepolisian Inggris menyatakan aktivitas itu bukan pelanggaran hukum.
Baca Juga: Studi: Laki-Laki Muda Lebih Cenderung Langgar Kebijakan Lockdown atau PSBB
Namun seberapa efektif dorongan agar publik melaporkan kesalahan orang lain, terutama saat munculnya solidaritas bersama di kala pandemi seperti ini?