Suara.com - Sebuah drama televisi yang menceritakan kisah seorang bidan Yahudi ditayangkan di stasiun televisi yang dikendalikan pemerintah Arab Saudi, MBC, selama bulan Ramadan.
Seperti dikutip dari Kantor Berita Reuters, serial TV itu memicu kritik akibat upaya yang tampak untuk mempromosikan “normalisasi” Arab alias upaya terang-terangan untuk mengubah pandangan dunia Arab terhadap Israel, sehingga terbuka jalan terbentuknya hubungan resmi negara-negara di jazirah Arab dengan Israel.
Di sisi lain, drama televisi itu juga menuai pujian atas eksplorasi yang jarang dilakukan untuk mengungkap sejarah sosial kawasan Teluk itu.
“Kita harus mengakui bahwa orang-orang ini ada di antara kita. Di Kuwait, ada sebuah gereja, dan mereka tengah membangun yang kedua. Di antara kita ada warga Kuwait kristiani, semoga Tuhan memberkati mereka," kata aktris Kuwait yang memerankan karakter utama “Ibunda Harun”, Hayat Al Fahed, dalam wawancara dengan Reuters.
Baca Juga: Ashabul Kahfi, 7 Pemuda Yahudi yang Tertidur di Gua selama Ratusan Tahun
"Jadi memang ada kelompok-kelompok yang sedikit orang mengetahuinya, yang perlu kita angkat. Harus ada penerimaan agama. Kita menentang Zionis, menentang pengusiran paksa (warga Palestina), menentang penjajahan bangsa-bangsa, tapi kita tidak bisa menyangkal bahwa Taurat ini adalah sebuah kitab suci," lanjutnya.
Drama berjudul “Umm Haroun” alias “Ibunda Harun” adalah serial fiksi tentang komunitas lintas-agama di sebuah negara Teluk, yang tidak disebutkan namanya, pada era 1930 hingga 1950-an. Serial itu mulai ditayangkan pada 24 April lalu, di hari pertama bulan puasa, sebagai bagian dari rangkaian program Ramadan yang tayang setiap hari, ketika jumlah penonton biasanya meningkat.
Serial drama itu muncul ketika sejumlah negara di kawasan teluk telah mengingkari komitmen mereka dan memberi tawaran kepada Israel, yang mereka anggap memiliki kesamaan dalam hal menghadapi Iran.
Sejumlah organisasi kawasan yang menentang upaya normalisasi hubungan dengan Israel menyebarluaskan sebuah poster di media sosial, yang mendesak masyarakat untuk memboikot apa yang mereka sebut “drama yang keji”, yang diproduksi oleh perusahaan asal Kuwait dan Uni Emirat Arab itu.
“Di tengah pergerakan yang cepat menuju normalisasi bebas oleh sejumlah pemerintahan negara Arab (seperti Israel), serial drama ini muncul bak tikaman belati yang mematikan di balik kesadaran masyarakat Palestina dan Jazirah Arab, dan menjadi sebuah upaya untuk menghabisi inti pergerakan bangsa Palestina," kata Sekretaris Jenderal Persatuan Penulis Palestina, Murad Al-Sudani.
Baca Juga: Momen Langka, Muslim dan Yahudi Berdoa Bersama saat Pandemi Corona
Sementara itu, kritikus film asal Palestina, Youssef Shayef, punya pendapat yang sedikit berbeda: