Kisah Pandemi Flu Spanyol 1918: Bubur Hangat, Masker, Hirup Udara Segar

Sabtu, 09 Mei 2020 | 22:02 WIB
Kisah Pandemi Flu Spanyol 1918: Bubur Hangat, Masker, Hirup Udara Segar
Seorang wanita mengenakan masker saat pandemi flu Spanyol. [Dok. BBC/Getty]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pada tahun 1918 dunia dilanda pandemi flu Spanyol yang menewaskan setidaknya 50 juta orang di seluruh dunia. Banyak langkah dilakukan untuk mencegah penyebaran virus baik oleh pemerintah maupun orang-orang di antaranya dengan mengenakan masker, menghirup udara segar dan menyantap bubur hangat.

Covid-19 adalah virus yang benar-benar baru, yang secara tidak proporsional mempengaruhi para lansia. Jenis influenza mematikan yang melanda dunia pada 1918 cenderung menyerang mereka yang berusia antara 20 dan 30 tahun, dengan sistem kekebalan tubuh yang kuat.

Namun berbagai tindakan yang diambil oleh pemerintah maupun individu untuk mencegah penyebaran infeksi tampaknya sudah pernah dilakukan.

Lembaga kesehatan Inggris Public Health England mempelajari wabah flu Spanyol untuk menyusun rencana kontingensi awal untuk menghadapi virus corona.

Baca Juga: Cegah Sebaran Covid-19, Inggris Wajibkan Karantina 14 Hari Bagi Pelancong

Pelajaran utama yang mereka petik adalah gelombang kedua dari penyebaran virus ini, pada musim gugur 1918, terbukti jauh lebih mematikan ketimbang serangan pada gelombang pertama.

Negara itu masih dilanda perang ketika virus tersebut merenggut korban pertama yang tercatat pada Mei 1918. Pemerintah Inggris, seperti banyak negara lainnya, tidak siap dengan wabah ini. Mereka tampaknya lebih mengutamakan perang ketimbang mencegah kematian akibat flu.

Menurut laporan yang dibuat Sir Arthur Newsholme tahun 1919 untuk Royal Society of Medicine, wabah ini meluas bak kebakaran melalap mobil-mobil serdadu dan pabrik amunisi, serta bus-bus dan kereta api.

Namun "panduan tertulis untuk masyarakat" yang disusunnya pada Juli 1918, berisi anjuran agar orang-orang tetap di rumah jika mereka sakit dan menghindari aktivitas kerumunan, tidak digubris oleh pemerintah.

Sir Arthur berpendapat bahwa banyak nyawa bisa diselamatkan jika aturan-aturan ini diikuti, namun ia menambahkan: "Ada beberapa situasi nasional yang harus 'mengedepankan' tugas-tugas utama, bahkan saat menyangkut soal kehidupan dan risiko kesehatan. "

Baca Juga: Lockdown Dilonggarkan, Warga Spanyol Berbondong-bondong Cukur Rambut

Kala itu di tahun 1918, obat untuk menyembuhkan influenza belum ditemukan, juga tidak ada antibiotik untuk mengobati komplikasi seperti pneumonia. Banyak rumah sakit kewalahan.

Pemerintah tidak menerapkan pembatasan wilayah yang lebih ketat atau lockdown untuk menekan penyebaran virus, meski banyak gedung pertunjukan teater, ruang dansa, bioskop dan gereja ditutup, dalam beberapa kasus selama berbulan-bulan.

Pub, yang membatasi jam operasional selama perang, sebagian besar tetap buka. Liga Sepak Bola dan Piala FA juga dibatalkan karena perang, namun tidak ada upaya untuk membatalkan pertandingan lain atau membatasi jumlah penonton.

Pertandingan-pertandingan olahraga yang melibatkan kaum pria, juga kompetisi sepak bola perempuan, yang menarik perhatian banyak orang, berlanjut sepanjang pandemi.

Sejumlah jalanan di dalam kota dan sekitarnya disemprot dengan desinfektan dan beberapa orang memakai masker anti-kuman, saat mereka menjalani kehidupan sehari-hari.

Pesan-pesan layanan kesehatan pun membingungkan banyak orang - dan, seperti saat ini, banyak kabar bohong dan teori konspirasi bertebaran.

Di beberapa pabrik, aturan dilarang merokok dilonggarkan, dengan keyakinan bahwa rokok akan membantu mencegah infeksi.

Dalam sebuah debat tentang pandemi, anggota parlemen dari partai Konservatif, Claude Lowther, lantang bertanya: "Apakah sudah ada faktanya bahwa cara yang ampuh untuk melawan influenza itu adalah dengan merokok tiga kali sehari?"

Berbagai kampanye dan membagikan selebaran dilakukan untuk memperingatkan agar tidak menyebarkan penyakit melalui batuk dan bersin.

Pada November 1918, News of the World menyarankan para pembacanya: "mencuci hidung dengan sabun dan air setiap malam dan pagi; paksa diri Anda untuk bersin pada malam dan pagi hari, lalu bernapas dalam-dalam. Jangan mengenakan selendang; langsung pulang ke rumah selepas kerja dan menyantap bubur hangat. "

Tak ada satu negara pun yang luput dari pandemi tahun 1918 ini, meskipun skala dampaknya, dan upaya pemerintah untuk melindungi populasi mereka, sangat bervariasi.

Di Amerika Serikat, beberapa negara memberlakukan karantina pada warganya, dengan hasil beragam, sementara yang lain mencoba mewajiblan pemakaian masker. Bioskop, teater, dan tempat hiburan lainnya ditutup di seluruh pelosok negara.

New York lebih siap daripada kebanyakan kota di AS, kota itu telah melakukan kampanye melawan TBC selama 20 tahun, dan hasilnya tingkat kematian di sana sangat rendah.

Namun demikian, komisioner kesehatan kota mendapat tekanan dari para pengusaha untuk tetap membuka tempat-tempat umum, terutama bioskop dan tempat hiburan lainnya.

Kemudian, seperti sekarang ini, udara segar dipandang sebagai benteng potensial melawan penyebaran virus, yang mengarah ke beberapa solusi cerdas untuk menjaga aktivitas masyarakat tetap berjalan.

Namun telah terbukti mustahil untuk mencegah kerumunan massal di beberapa kota di AS, khususnya di tempat-tempat beribadah.

Pada akhir pandemi, jumlah kematian di Inggris mencapai 228.000 jiwa, dan seperempat dari populasi diperkirakan telah terpapar virus.

Upaya-upaya untuk membunuh virus berlanjut dalam beberapa waktu, dan penduduknya lebih sadar akan potensi mematikan selama musim influenza.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI