Suara.com - Terlantarnya 14 Anak Buah Kapal (ABK) Kapal Longxing 629 China di Busan, Korea Selatan juga mengindikasikan adanya Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Menurut Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) permohonan perlindungan untuk kasus TPPO menduduki posisi empat besar dibandingkan permohonan perlindungan lainnya.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, kalau kasus TPPO yang menyasar ABK asal Indonesia bukan hanya sekali saja terjadi. Misal, kasus yang terjadi di Benjina pada 2015 ada ratusan ABK yang menjadi korban perbudakan oleh perusahaan perikanan berbendera Thailand.
Ia menilai kasus ABK Kapal Longxing 629 China juga serupa dengan kasus Benjina. Bukan hanya itu, LPSK juga menyebut ada peristiwa TPPO yang mirip, antara lain terjadi di Jepang, Somalia, Korea Selatan dan Belanda.
Baca Juga: Pemerintah Harus Ajak Interpol Usut Kapal China yang Buang Jasad ABK WNI
Menurut catatan akhir tahun LPSK 2019, permohonan perlindungan untuk kasus TPPO menempati posisi empat besar setelah kasus kekerasan seksual anak, terorisme dan pelanggaran HAM berat.
"Pada tahun 2018, permohonan perlindungan untuk kasus TPPO berjumlah 109, sedangkan di tahun 2019 naik menjadi 162 permohonan. Sedangkan ihwal jumlah terlindung, pada 2018 terdapat 186 terlindung kasus TPPO dan naik menjadi 318 terlindung di tahun 2019," kata Edwin dalam keterangan tertulisnya pada Kamis (7/5/2020).
Kalau dilihat dari pengalaman LPSK saat melakukan investigasi kasus TPPO khususnya pada sektor kelautan dan perikanan, telah ditemukan fakta banyaknya perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh para korban. Rata-rata korban TPPO mengalami penipuan dalam proses rekrutmen, pemalsuan identitas, dan jam kerja yang melebihi aturan.
Selain itu juga korban TPPO mengalami tindakan kekerasan dan penganiyaan, penyekapan, gaji yang tidak layak, hingga ancaman pembunuhan.
"Kami pernah mendengarkan pengakuan korban yang tidak mendapatkan air minum yang layak, mereka terpaksa minum air laut yang disaring, bahkan ada yang meminum air AC," ungkapnya.
Baca Juga: Kekejaman Kapal China pada ABK WNI: Kerja 18 Jam Cuma Dibayar 180 Ribu
Terkait dengan kasus dugaan TPPO yang dilakukan kapal berbendera China terhadap ABK WNI saat ini, LPSK telah menyatakan siap untuk memberikan perlindungan. LPSK siap untuk bekerja sama dan berkolaborasi dengan pihak Kementerian Luar Negeri dan juga pihak kepolisian, guna memberikan perlindungan kepada ABK tersebut.
“Sebagai langkah awal, LPSK akan turut serta menjemput sejumlah ABK yang pulang ke Indonesia besok di bandara,” kata Ketua LPSK Hasto Atmojo.
Sebagaimana diketahui, cerita miris datang dari dunia pekerja kapal asal Indonesia. Empat dari 18 Anak Buah Kapal (ABK) yang bekerja di Kapal Longxing 629 China meninggal dunia dan tiga jasad di antaranya terpaksa dibuang ke laut lepas.
Ketua Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) Korea Selatan Ari Purboyo mengungkapkan, mereka meninggal dunia dalam kondisi tubuh yang bengkak.
Tiga ABK tersebut, yakni Al Fattah yang meninggal dunia pada September 2019 karena sakit, Sefri asal Palembang dengan penyebab yang sama, kemudian Ari yang meninggal dunia pada Februari 2020.
"Tiga orang ini yang dibuang di laut," kata Ari saat dihubungi Suara.com, Selasa (5/5/2020).
Sedangkan, satu ABK lainnya yakni Effendi Pasaribu sempat dilarikan ke rumah sakit di Korea Selatan namun nyawanya tidak dapat tertolong. Dari hasil forensik yang dilakukan, penyebab Effendi meninggal dunia karena pneumonia atau radang paru-paru.
Banyak faktor yang menjadi indikasi penyebab keempat WNI tersebut meninggal dunia dengan kondisi tubuh membengkak. Ari menyebut ada faktor kekerasan yang dialami, akan tetapi menurutnya faktor tersebut bukan menjadi unsur terbesar dari penyebab meninggal dunia.
Faktor lainnya juga bisa dari makanan atau minuman yang ABK tersebut konsumsi setiap harinya. Ari menyebutkan, jika ABK asal Indonesia mendapatkan perlakukan berbeda untuk makanan dan minuman dengan ABK asal China.