Sistem Kesehatan Kolaps, Petugas Medis Yaman Kesulitan Perangi COVID-19

Syaiful Rachman Suara.Com
Senin, 04 Mei 2020 | 22:10 WIB
Sistem Kesehatan Kolaps, Petugas Medis Yaman Kesulitan Perangi COVID-19
Petugas di Yaman menyemprotkan disinfektan di jalan. [BBC]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sistem kesehatan Yaman dalam kondisi kolaps - membuat negara itu kemungkinan sulit untuk mengatasi wabah virus corona.

Dr Shalal Hasel adalah seorang pejabat departemen pemantauan epidemiologi di provinsi Lahj, Yaman.

Biasanya pekerjaannya berfokus menghadapi wabah kolera, tapi sekarang dia bekerja sepanjang waktu untuk memastikan Yaman bersiap menghadapi wabah Covid-19.

Meskipun - pada usia 30 tahun - dia muda dan energik, dia sudah terdengar sedih.

Baca Juga: Lockdown Dilonggarkan, 85 Juta Warga China Berwisata

Lima wabah yang mengubah dunia Negara mana saja yang belum melaporkan kasus Covid-19? 'Kasus virus corona' di istana kepresidenan Afghanistan

"Anda akan tahu tentang situasi kesehatan yang memburuk di Yaman - terutama setelah konflik dan perang. Rumah sakit di sini terbatas dan tidak dilengkapi untuk menangani kasus virus corona."

Untuk membuktikan maksudnya, dia mengirimi saya beberapa foto dokter dengan celemek dan masker yang belum sempurna.

"Kami kekurangan APD (peralatan perlindungan pribadi) yang memadai. Tim tanggap cepat telah menerima pelatihan dalam manajemen kasus Covid-19 tetapi mereka tidak memiliki perlindungan pribadi. WHO [Organisasi Kesehatan Dunia] harus mengisi kekosongan ini."

WHO memberi bantuan perlengkapan kepada apa yang disebut sebagai "pusat isolasi" di Yaman untuk pasien Covid-19.

Beberapa di antaranya adalah fasilitas kesehatan yang hingga kini masih beroperasi, sementara sisanya adalah beberapa bangunan tua yang diubah menjadi rumah sakit darurat.

Baca Juga: AS Klaim Punya Bukti, Inggris Minta China Transparan Soal COVID-19

Namun di tempat itu pun ada banyak kekurangan pasokan, menurut Dr Hasel.

"Kami tidak memiliki alat ukur suhu infra merah; ada kekuarangan swab untuk mendiagnosa, bahkan tim pemantau tidak memiliki ambulans untuk digunakan bagi terduga pasien."

'Ketakutan di wajah mereka'

Merujuk data WHO, hanya ada empat laboratorium di Yaman yang bisa memeriksa virus corona. Laboratorium kelima saat ini sedang dipersiapkan.

Mohamed Alshamaa dari Save The Children sama khawatirnya tentang apa yang mungkin melanda rumah sakit di negara itu - hanya setengahnya beroperasi sebagai imbas dari perang.

"Anda dapat melihat ketakutan di wajah, tidak hanya dokter tetapi juga manajemen. Kami memiliki beberapa dokter di satu atau dua rumah sakit yang telah mengirim pasien dengan kondisi pernapasan normal karena khawatir mereka adalah kasus virus corona, karena mereka tidak memiliki peralatan pelindung yang tepat. "

Saat ini Yaman hanya memiliki 209 ventilator, sejumlah 417 ventilator sedang didatangkan dari negara lain.

Ini masih jauh dari ribuan ventilator yang dimiliki atau diproduksi oleh negara-negara maju.

Tamuna Sabadze, dari Komite Penyelamatan Internasional, mengatakan bahwa dari semua skenario, yang paling mungkin terjadi adalah Yaman membutuhkan setidaknya 18.000 tempat tidur perawatan intensif.

"Dan bahkan jika Anda mendapatkan ventilator, Anda tidak dapat menjalankannya jika Anda tidak memiliki pasokan listrik - sering kali tidak ada generator atau, jika ada, tidak ada bahan bakar untuk menjalankannya."

Tempat-tempat padat

Sejauh ini, Yaman beruntung - tercatat hanya ada sejumlah kasus di negara itu.

Kasus pertama tercatat di provinsi Hadramaut. Lima kasus lainnya terjadi di Aden, menurut komisi darurat yang bertugas memantau pandemi.

WHO mengatakan semua pelacakan kontak yang diperlukan dilakukan.

Sebanyak 177 orang diawasi - termasuk 36 yang dianggap berisiko tinggi. Tetapi tidak ada ahli yang berharap itu berakhir di sana.

Selain kurangnya peralatan, ada kekhawatiran tentang kesadaran kesehatan masyarakat - atau lebih tepatnya kurangnya kesadaran kesehatan masyarakat.

Dengan melemahnya pemerintah karena perang, tidak ada pesan pencegahan yang kuat yang dikeluarkan oleh pihak berwenang seperti di negara lain.

Sebagian besar bersifat budaya, kata Dr. Hasel.

"Orang-orang Yaman berkumpul di kerumunan dan paar kami - khususnya pasar khat (stimulan herbal yang populer di Yaman) - penuh dan jalanan sangat sempit. Bahkan fasilitas kesehatan dipadati orang-orang.

"Semua ini membuat penerapan jaga jarak terkendala."

Lalu ada masalah perbatasan yang keropos, tambahnya.

"Yaman memiliki banyak imigran Afrika yang masuk secara ilegal dan mereka berisiko terhadap kesehatan masyarakat jika mereka tidak diperiksa atau diawasi. Ada juga ekspatriat Yaman di negara-negara tetangga yang diselundupkan bolak-balik melintasi perbatasan. Mereka membawa risiko juga.

"Mungkin salah satu dari mereka memiliki virus corona dan kemudian bercampur dengan masyarakat umum dan tidak ada yang tahu tentang itu."

Salah satu hal yang menjadi fokus Tamuna Sabadze di Komite Penyelamatan Internasional adalah pemulihan fasilitas sanitasi dan distribusi peralatan kebersihan.

"Sangat baik untuk mengatakan 'cuci tanganmu!' tapi itu tidak mudah di Yaman. Lima puluh persen dari populasi tidak memiliki akses ke air yang mengalir. "

Tak lama setelah kami berbicara, banjir bandang melanda Aden yang membuat tugas menyediakan air bersih semakin sulit.

'Tidak ada yang bisa pergi ke rumah sakit'

Kembali ke kantor Saana dari Save The Children, Mohammed Alsamaa khawatir tentang persediaan dan personel yang minim di negara itu sejak wilayah udara Yaman ditutup pada pertengahan Maret.

Staf Mohammed kekurangan tiga pekerja kemanusiaan yang secara tidak sengaja diusir.

Dia juga khawatir pasokan makanan terganggu oleh tindakan penutupan. Yaman sudah menjadi negara di mana kekurangan gizi banyak terjadi.

Di tengah kekhawatiran akan penularan, ada secercah harapan pada April silam ketika gencatan senjata diumumkan oleh koalisi yang dipimpin Arab Saudi, yang sedang bertempur dengan pemberontak Houthi di Yaman.

Gencatan itu diperpanjang satu bulan ke depan namun para pemberontak belum menerimanya dan Mohammed berkata pada saya bahwa pertempuran terus terjadi secara diam-diam.

"Masih ada tegangan di mana-mana. Lebih mendesak dari sebelumnya bahwa konflik berhenti. Tidak ada yang bisa pergi ke rumah sakit atau klinik jika ada perang dan wabah ini - ketika datang - bisa menjadi tak terkatakan. "

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI