Suara.com - Selagi menumpang kereta api dan termenung menatap bukit dan hijaunya perkebunan, boleh jadi Anda tidak tahu apa yang Anda lewatkan. Melalui laporan berikut ini, kami ajak Anda berpetualang di Priangan, Jawa Barat, dengan menelusuri rel dari Bogor hingga Cianjur. Jalur kereta di Hindia Belanda (Indonesia) merupakan yang tertua kedua di Asia, setelah India, pada era 1800-an.
Priangan. Daerah di Jawa Barat ini merupakan salah satu kawasan yang menjadi tumpuan ekonomi pemerintah kolonial Belanda. Tak pelak, Priangan menjadi wilayah prioritas pembangunan rel kereta api sebagai sarana pengangkut hasil bumi.
Kita akan menelusuri jejak penjajahan berusia ratusan tahun di kawasan ini dari Bogor hingga Cianjur, seraya menyinggahi beberapa tempat bersejarah di sekitar jalur tersebut.
Dalam penelusuran ini, wartawan BBC News Indonesia, Jerome Wirawan, menemukan berbagai fakta yang mungkin Anda juga belum mengetahuinya.
Baca Juga: Sejarah Hari Kebebasan Pers Sedunia
Terowongan kereta api pertama di Indonesia yang dibangun 1879-1882 ada di Priangan; kaitan pembangunan jalur kereta api di Priangan dengan kegiatan plesiran orang Belanda pada masanya; alasan di balik pembangunan Stasiun Bogor yang berhadapan dengan Istana Bogor; serta Cianjur yang sempat menjadi ibu kota Priangan.
Sosok yang memandu dalam napak tilas kali ini adalah Dicky Soeria Atmadja.
Dicky adalah seorang akademisi dalam bidang teknik pemetaan dari Institut Teknologi Bandung, yang aktif sebagai wakil ketua International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) Indonesia—sebuah organisasi nonpemerintah beranggotakan berbagai akademisi yang mendorong pelestarian cagar budaya.
Stasiun Bogor
Perjalanan kita mulai dari Stasiun Bogor atau yang dulu dikenal dengan nama Buitenzorg.
Baca Juga: 3 Fakta Ki Hajar Dewantara, Sosok di Balik Sejarah Hari Pendidikan Nasional
Stasiun Bogor merupakan titik mula proyek pengerjaan rel kereta api di Priangan. Stasiun ini awalnya dibangun oleh Nederlandsch Indische Spoorweg atau NIS, sebuah jawatan kereta api milik swasta era Hindia Belanda, untuk melayani perjalanan dari Batavia menuju Buitenzorg dan sebaliknya.
"Karena dianggap sukses, maka setelah pembukaan jalur dari Batavia ke Bogor pada tahun 1873 pemerintah kolonial saat itu meminta untuk dilanjutkan pembangunannya dari Buitenzorg atau Bogor ke arah Sukabumi, Cianjur, bahkan sampai ke Bandung," papar Dicky.
Dalam membangun jalur pertama di Priangan dari mulai Bogor ke arah Sukabumi, NIS mengalami kendala finansial karena jalur tersebut melalui medan yang berbukit-bukit dan menyulitkan konstruksi.
"Jalur ini diapit oleh dua gunung yaitu Gunung Pangrango dan Gunung Salak. Tentu saja wilayah yang berbukit-bukit ini akan berdampak pada begitu beratnya konstruksi jalur kereta api di lapangan. Karena akan banyak jembatan yang harus dibangun dan jalurnya pun harus berkelok-kelok naik turun," kata Dicky.
Pengerjaan jalur Priangan lantas diambil alih Staatsspoorwegen, perusahaan milik Kerajaan Belanda, pada 1879.
"Dimulai pada tahun 1879 pembangunan diteruskan bahkan sampai ke Cianjur sampai ke Bandung sampai ke Cicalengka tahun 1884," papar Dicky.
"Jadi jalur kereta api pertama di Priangan bukanlah jalur yang kita kenal selama ini, yaitu jalur Batavia, Purwakarta, Cikampek sampai ke Bandung. Tapi justru dari Bogor ke Sukabumi, Cianjur, Cimahi dan Bandung," imbuhnya.
Oleh SS, Stasiun Bogor dibangun ulang dengan lebih megah. Keberadaan Paleis Buitenzorg atau Istana Bogor merupakan alasannya.
"Muncul pemikiran bahwa stasiun yang posisinya dekat sekali bahkan berhadap-hadapan dengan Paleis Buitenzorg atau Istana Bogor sekarang tentu juga akan melayani kebutuhan transportasi gubernur jenderal," ujar Dicky.
Saat itu, di seluruh Asia, hanya ada dua kawasan yang sudah menerapkan jalur kereta api yaitu India dan Hindia Belanda. Jalur kereta di India dibangun oleh pemerintah kolonial Inggris.
"Saat itu yang menjadi acuan bangunan fasilitas-fasilitas perkeretaapian adalah Inggris dan orang-orang Belanda saat itu berpikir kita setidaknya harus bisa menyamai stasiun-stasiun yang dibangun Inggris bahkan lebih megah dari stasiun yang dibangun oleh Inggris.
"Karena itu mereka membuat dan merancang sebuah stasiun yang sangat megah dengan kualitas material yang nomor satu saat itu. Dan akhirnya 1881 terwujudlah bangunan stasiun ini yang kita kenal sekarang sebagai Stasiun Bogor," ungkap Dicky.
Dicky lantas menunjukkan jejak kemegahan di Stasiun Bogor berupa fasad dengan ukiran pada kusen kayunya yang, menurutnya, sangat jarang ditemui di bangunan stasiun lain.
Kemudian terdapat sebuah ruang VIP di Stasiun Bogor yang diduga sebagai ruang tunggu gubernur jenderal Hindia Belanda. Di ruangan ini lantainya terbuat dari marmer dan dindingnya memiliki ukiran dari kayu jati.
Melangkah ke peron, Dicky menunjukkan tampilan peron yang sama dengan peron yang dibangun 140 tahun lalu. Khususnya adalah bagian fasad, kemudian atap, rangka, tiang semua masih sama.
Dalam menelusuri jalur kereta Bogor-Cianjur, PT KAI menyediakan dua kereta.
Kereta pertama adalah KA Pangrango, yang menempuh rute Stasiun Bogor Paledang menuju Stasiun Sukabumi.
Perjalanan kemudian diteruskan dengan menumpang KA Siliwangi, yang menempuh rute Stasiun Sukabumi hingga Stasiun Cianjur.
Stasiun Cigombong
Setengah jam melaju dari Stasiun Bogor Paledang, kita akan sampai di Stasiun Cigombong.
Stasiun ini menjadi bukti bahwa fungsi jalur kereta api di era Hindia Belanda salah satunya adalah sebagai transportasi wisata.
"Stasiun ini stasiun kecil, biasa disebut halte. Stasiun ini berposisi dekat dengan sebuah tempat wisata tetirah orang-orang Belanda saat itu yang bernama Lido. Hanya mungkin sekitar 200 meter dari stasiun ini," kata Dicky.
Kawasan Danau Lido yang dapat dijangkau dengan mudah menggunakan kereta api membuat lokasi itu populer di antara orang-orang Belanda.
Kehadiran orang-orang Belanda yang berwisata tersebut juga erat kaitannya dengan keberadaan puluhan hingga ratusan perkebunan di Priangan pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20.
Jenis perkebunannya pun beragam, mulai dari perkebunan kopi hingga karet.
Salah satu perkebunan yang kondang di sekitar jalur ini adalah perkebunan tanaman gutta percha (getah perca) Cipetir. Pabrik Cipetir, pengolah gutta percha, yang berusia lebih dari satu abad, masih berdiri dan merupakan 'satu-satunya di dunia'.
Lokasi itu dapat disinggahi dengan terlebih dahulu turun di Stasiun Cibadak.
Pabrik Cipetir
Perkebunan gutta percha Cipetir sudah ada sejak 1885, namun pabriknya baru dibangun dan mulai beroperasi pada tahun 1921, menurut Dahono Argo Kumoro, Manajer Kebun Sukamaju PTPN Nusantara VIII yang kini mengelola pabrik tersebut.
Pada masa keemasannya, hasil produksi gutta percha dari Cipetir dikirim ke berbagai negara di dunia untuk digunakan sebagai bahan insulator kabel telegraf bawah laut.
Keunikannya ini tidak dimiliki tanaman karet biasa.
"Kandungan kimianya berbeda. Pengolahannya pun berbeda. Kalau karet biasa kan dari batang disadap kemudian keluar getahnya. Kalau gutta percha dari daun, getahnya ada di daun," jelas Budi Prayudi, staf pabrik Cipetir.
Oleh masyarakat setempat, gutta percha disebut karet oblong. Istilah ini berawal dari bahasa Latin untuk tanaman gutta percha, yaitu Palaquium Oblongifolium.
Sekarang kapasitas produksi pabrik Cipetir jauh berkurang karena penggunaan gutta percha untuk bahan industri sudah banyak digantikan oleh material yang lebih modern.
Saat BBC News Indonesia menyambangi tempat itu, tanaman gutta percha hampir tak terlihat. Hanya ada sekumpulan kecil tanaman gutta percha di dalam kompleks pabrik. Tanaman sawit justru yang mendominasi pemandangan di sekitar pabrik.
Bagaimanapun, bangunan pabrik berusia lebih dari satu abad ini masih berdiri dan menjadi saksi bisu sejarah perkebunan Priangan di era kolonial Belanda.
Dari era tanam paksa ke UU Agraria
Keberadaan perkebunan di kawasan Priangan tak bisa dilepaskan dari era budidaya tanaman kopi berdasarkan kerja paksa pada awal abad ke-19, dalam sistem Priangan atau disebut Preangerstelsel.
Sistem inilah yang kemudian mengilhami Cultuurstelsel atau tanam paksa di berbagai wilayah di Hindia Belanda.
Namun, pada era tersebut, pengangkutan kopi dari dataran tinggi ke pantai menjadi masalah besar, sebagaimana diterangkan sosiolog Belanda, Jan Breman, dalam buku berjudul Keuntungan kolonial dari kerja paksa: sistem Priangan dari tanam paksa kopi di Jawa, 1720-1870.
"Daendels menyatakan ketika ia datang tahun 1808 hampir tidak ada jalan yang dapat dilewati...Penyetoran biji kopi ke gudang pengapalan biasanya menggunakan kerbau, padahal jumlah binatang ini sangat sedikit...Karena sulitnya medan perjalanan...menyebabkan perjalanan pulang-pergi Bandung membutuhkan waktu lebih dari dua bulan," papar Jan Breman dalam buku terbitan 2010 itu.
Agus Mulyana dalam buku Sejarah Kereta Api di Priangan terbitan 2017 menulis: "Lambannya pengangkutan dapat mengakibatkan banyak hasil bumi menumpuk di gudang-gudang di daerah pedalaman dan membusuk karena tidak terangkut."
Bagaimanapun, dalam kondisi transportasi yang sulit, produksi perkebunan Priangan tetap unggul.
Jan Breman mencatat, ketika konsumsi kopi dunia pada 1822 meningkat hingga 225.000 ton, Hindia Belanda memasok 100.000 ton dari total jumlah ini. Dari jumlah itu, "sebagian besarnya berasal dari dataran tinggi Sunda," tulis Jan Breman.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda tampak menikmati benar hasil perkebunan ini.
Jan Breman mengutip penulis sejarah tanam paksa, C Fasseur, "yang menghitung bagaimana penghasilan uang di Hindia Belanda yang pada 20 tahun pertama tidak lebih dari seperlima pendapatan negara Belanda, meningkat sampai hampir sepertiga bagian pendapatan negara pada tahun 1850-an".
Sejarawan Peter Carey mengatakan: "Dari tanam paksa, Kerajaan Belanda bisa meraup untung hingga 832 juta gulden (setara dengan US$75,5 miliar hari ini)."
Pernyataan Carey terkonfirmasi dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 karya sejarawan M C Ricklefs.
Ricklefs menyebut keuntungan sistem tanam paksa menjadikan perekonomian dalam negeri Belanda kembali stabil: utang-utang luar negeri Belanda terlunasi, pajak-pajak diturunkan, kubu-kubu pertahanan diciptakan, dan jalan-jalan kereta api negara dibangun.
Perekonomian Belanda sebelumnya memang sempat goyah akibat Perang Jawa (1825-1830). Menurut sejarawan Peter Carey, kurang lebih 25 juta gulden (setara dengan kira-kira US$2,5 miliar untuk hari ini) telah dikeluarkan dari kas negara untuk memadamkan pemberontakan yang dipelopori oleh Pangeran Diponegoro itu.
Akan tetapi, sistem tanam paksa tersebut dihujani kritik oleh berbagai kalangan, termasuk Eduard Douwes Dekker alias Multatuli dalam bukunya Max Havelaar.
Ada pula kritik dari kelompok liberal yang menuding Cultuurstelsel telah membunuh bisnis perkebunan swasta di Hindia Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda merespons kritik-kritik itu dengan memberlakukan Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) pada 1870.
"Undang-undang agraria atau Agrarische Wet 1870 membuka peluang lebih besar bagi pihak swasta untuk masuk ke dalam sektor perkebunan di Priangan. Tentunya ini membawa dampak makin luasnya area perkebunan di Priangan," papar Dicky Soeria Atmadja, wakil ketua International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) Indonesia.
"Dan dengan semakin luasnya area perkebunan tentunya kebutuhan transportasi terutama kereta api juga akan makin meningkat. Dengan demikian terlihat bahwa pemerintah mendorong dibangunnya kembali beberapa jalur atau sejumlah jalur di Priangan untuk mendukung perkebunan-perkebunan baru ini," tambah Dicky.
Sejumlah literatur mencatat jumlah perkebunan meningkat di Priangan setelah kereta api hadir sebagai moda transportasi tepat pada masa peralihan dari era Cultuurstelsel atau tanam paksa ke era Undang-Undang Agraria.
Setelah UU Agraria diberlakukan, pada tahun 1902 di seluruh Hindia Belanda terdapat lebih kurang 100 perkebunan teh; 81 di antaranya terletak di Jawa Barat.
Perkebunan kina di Hindia Belanda berjumlah 82 buah, dan yang berada di Jawa Barat sebanyak 60 perkebunan.
Produksi kina dari Hindia Belanda (terutama perkebunan di Priangan) pada tahun 1939 sebanyak 12.391 ton alias sama dengan 90% dari seluruh produksi kina dunia.
Stasiun Sukabumi
Kita melanjutkan perjalanan menuju stasiun Sukabumi.
Di stasiun ini, kita masih bisa melihat sisa-sisa teknologi yang terbilang maju pada zamannya mengingat saat itu kereta api sangat diandalkan untuk mengangkut hasil perkebunan di Priangan.
Dicky memperlihatkan wujud salah sisa teknologi di ujung stasiun, yaitu turn table.
"Turn table fungsi utamanya adalah untuk memutar arah lokomotif. Jadi saat itu lokomotif uap yang datang dari arah Bogor menuju ke Sukabumi sampai di stasiun ini, jika ingin kembali lagi ke arah Bogor harus diputar arahnya dulu lokomotifnya," kata Dicky.
Proses kerja turn table diawali dengan masuknya lokomotif ke dalam rel pada turn table sampai titik berat lokomotif tepat di tengah-tengah.
"Karena titik berat lokomotif itu tepat diletakkan di tengah-tengah, cukup dengan dua orang saja maka lokomotif yang beratnya puluhan ton—bisa sampai 80 ton bahkan lebih— dapat diputar arahnya, berkebalikan arah," papar Dicky.
Stasiun dan terowongan Lampegan
Rekam jejak teknologi perkeretaapian berikutnya masih dapat disaksikan di Stasiun Lampegan, tiga stasiun dari Stasiun Sukabumi menuju Cianjur.
Teknologi itu berwujud terowongan kereta pertama di Hindia Belanda yang dibangun antara tahun 1879 hingga 1882.
"Terowongan ini sekarang terletak tepat di perbatasan Sukabumi dan Cianjur. Dulu lokasi ini adalah lokasi yang paling sulit pada saat pembangunan jalur kereta api dari Sukabumi menuju Cianjur.
"Mengapa sulit? Karena di tempat inilah mereka menemukan sebuah bukit yang mau tidak mau harus ditembus atau digali. Bebatuannya cukup keras sebagian, sebagian lagi batunya terlalu lunak. Sehingga ada yang digali dan ada juga yang dikupas. Dan menjadi sangat sulit karena mereka belum pernah sama sekali punya pengalaman untuk sebuah terowongan di Hindia Belanda," tutur Dicky.
Untuk menggali bukit, menurut Dicky, para pekerja perkebunan teh di sekitar dikerahkan.
"Tepat di daerah ini, ada Onderdeming Sibokor yang juga memproduksi teh dan kina. Pada saat mereka diminta untuk pembangunan terowongan ini pemiliknya menyetujui dengan satu syarat bahwa harus dibangun suatu stasiun atau halte saat itu yang berada di sini untuk membantu mereka mengangkut komoditas ke pelabuhan. Dan itulah cikal bakal stasiun Lampegan yang sekarang ada di mulut terowongan sisi Cianjur," papar Dicky.
Dicky, yang beberapa kali memandu rombongan pemerhati sejarah di jalur kereta Bogor-Cianjur, menilai keberadaan terowongan dan jalur kereta tersebut adalah sebuah pencapaian.
"Kesulitan kondisi alam saat itu dapat diatasi. Itu yang saya sebut engineering marvel."
Di samping predikatnya sebagai terowongan kereta pertama di Hindia Belanda, Lampegan punya latar belakang penamaan yang unik. Salah satu versi adalah kesalahan penyebutan.
Pada era kolonial, saat kereta berhenti di mulut terowongan baik dari sisi Sukabumi maupun Cianjur, maka masinis akan meminta petugas yang berada di stasiun untuk menyalakan lampu.
Kode teriakan dari petugas stasiun pada saat itu pada saat selesai menyalakan lampu adalah "lampen gaan".
"'Lampen gaan' dari kata Belanda yang artinya lampu sudah menyala, 'lights go on', kira-kira begitu. Kata-kata ini berulang terus setiap lokomotif masuk ke arah terowongan dan itu kemudian ditangkap oleh orang-orang lokal yang menyangka itu adalah seolah-olah nama dari terowongan ini. Sehingga sampai sekarang disebut dengan Lampegan," kata Dicky sembari tersenyum lebar.
Stasiun Cianjur
Kita tiba di tujuan akhir, stasiun Cianjur. Namun sejatinya jalur kereta yang dibangun pemerintah Hindia Belanda terus menembus pedalaman Priangan.
"Saat ini kita berada di Stasiun Cianjur, stasiun terakhir dalam kajian kami saat ini. Karena sesungguhnya jalur ini masih berlanjut terus sampai ke Padalarang, Cimahi, Bandung dan Cicalengka," ujar Dicky.
Hingga 1864, Cianjur sebenarnya adalah ibu kota Priangan. Jalur kereta api yang menyambungkan Cianjur hingga ke Batavia ini membuktikan bahwa Cianjur sempat memiliki peran penting di masa lalu.
"Priangan saat itu belum beribu kota di Bandung, tapi masih di Cianjur. Setelah sekian waktu pemerintah kolonial memindahkan ibu kota Priangan dari Cianjur ke Bandung. Tentu saja waktu itu ini mengurangi peran Cianjur sebagai sebuah kota dan sebagai bagian dari jalur kereta api," ujar Dicky.
Demikian perjalanan menelusuri rel kereta Priangan, yang sempat menjadi tumpuan ekonomi bagi pemerintah Belanda di era kolonial.
Rute ini sekarang menjadi pengingat bagaimana pemerintah kolonial mengeruk hasil bumi Priangan, memeras keringatnya, dan menyisakan jejaknya.
Kita masih bisa menyaksikan warisan tersebut, sebelum semuanya musnah dilindas zaman.
*****Semua foto dilindungi hak cipta